Sekolah Rakyat Kehilangan Rakyat — Ratusan Siswa dan Guru Mundur

- Editor

Rabu, 13 Agustus 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Foto: Ilustrasi

Foto: Ilustrasi

Ratusan siswa dan lebih dari seratus guru memilih mundur dari Sekolah Rakyat. Angka resmi menyebut kecil, tapi di baliknya ada wajah, cerita, dan ironi yang tak masuk di papan presentasi.

Pramoedya.id: Nama “Sekolah Rakyat” terdengar seperti janji manis: sekolah untuk semua, sekolah yang merangkul. Tapi baru seumur jagung berjalan, program ini sudah ditinggalkan ratusan siswanya. Dari 9.705 anak yang awalnya mendaftar, sebanyak 115 di antaranya memilih mundur. Kalau dihitung, memang hanya sekitar 1,4 persen. Kecil di atas kertas, tapi besar di cerita nyata.

Gelombang Mundur di Awal Perjalanan

Yang paling banyak angkat kaki datang dari Jawa dan Sulawesi, masing-masing 35 siswa. Di Sumatera, ada 26 siswa yang memutuskan pulang. Kalimantan kehilangan 10 siswa, Maluku 5, sementara Bali dan Nusa Tenggara kehilangan 4 anak. Papua, setidaknya untuk sementara, masih nihil pengunduran diri.

Alasannya nyaris seragam, tidak siap hidup di asrama dan terlalu jauh dari keluarga jadi alasan utama. Apalagi bagi mereka yang hanya tinggal dengan orang tua tunggal, atau rindu pada ritme sekolah reguler yang lebih akrab. Ada juga yang mundur karena harus membantu keluarga di rumah.

Tambal Sulam Siswa dan Guru

Pemerintah mencoba menambal kekosongan itu dengan merekrut pengganti: di Sulawesi, 26 dari 35 kursi sudah terisi lagi; di Jawa, 19 dari 35; di Sumatera, 14 dari 26. Di Bali dan Nusa Tenggara, semua kursi yang ditinggalkan sudah terisi penuh.

Namun cerita mundurnya tidak berhenti di siswa. Dari pihak guru, tercatat 160-an orang di seluruh Indonesia juga memilih hengkang. Alasannya tak jauh berbeda: lokasi penugasan yang terlalu jauh dari domisili, tawaran kerja lain yang lebih pasti seperti PPPK, atau urusan keluarga yang tak bisa ditinggal. Di Takalar, Sulawesi Selatan, misalnya, lima guru undur diri, disusul dua siswa yang bahkan mundur sebelum sekolah dimulai. Semuanya kini sudah digantikan, setidaknya di atas kertas.

Wajah di Balik Statistik

Di ruang rapat kementerian, angka 1,4 persen siswa mundur dan 143 guru pergi mungkin hanyalah catatan pinggir dalam dokumen tebal. Toh program ini tetap jalan. Tapi di dunia nyata, setiap angka punya wajah: anak yang pulang karena ibunya sakit, guru yang menyerah setelah menempuh perjalanan berjam-jam, atau remaja yang tak tahan hidup di asrama barangkali terasa seperti barak militer.

Romantisme Nama dan Realita Pahit

Nama “Sekolah Rakyat” seakan ingin menghidupkan kembali romantisme masa lalu: sekolah-sekolah desa zaman awal republik, ketika guru-guru mengajar di bawah pohon beringin dan papan tulisnya diisi kapur setengah patah. Bedanya, dulu rakyat datang karena merasa dibutuhkan, kini rakyat mundur karena merasa diasingkan. Ya, sebuah pengasingan bagi si miskin yang sengaja di kotak-kotakan oleh pemerintah. Padahal, pemerintah punya sekolah negeri yang seharusnya juga mengusung slogan “sekolah untuk semua, sekolah yang merangkul.”

Sejarah yang Berulang

Sejarah sudah berulang kali memberi pelajaran: program pendidikan yang lahir di meja rapat dan disebar lewat pidato selalu punya risiko patah di lapangan. Dulu, Sekolah Guru Bantu gagal karena distribusi yang semrawut. Sekolah Inpres banyak yang mangkrak karena pembangunan tak diiringi perencanaan jangka panjang. Kini, Sekolah Rakyat mencatat bab barunya sendiri: mundurnya rakyat dari sekolah yang memakai namanya.

Kata “Rakyat” yang Tetap Tinggal

Tentu, program ini akan tetap berlanjut. Angka-angka akan diperbarui, kursi yang kosong akan diisi lagi, dan di papan presentasi kementerian akan muncul grafik yang tampak stabil. Tapi di luar gedung itu, di jalanan berdebu dan asrama-asrama yang jauh dari rumah, sebagian rakyat sudah menutup pintu.

Ironinya, yang tetap bertahan justru adalah kata “Rakyat” di namanya, seolah itu cukup untuk membuktikan keberpihakan. Padahal, kalau rakyatnya sudah pulang, apa yang tersisa dari sebuah Sekolah Rakyat?(*)

Berita Terkait

Miskin Nalar DPR: Label “Cuma” untuk Donasi Sumatra
Dari Purwokerto ke Era UMi: Sejarah BRI dan Perjalanan Ekonomi Rakyat
Memuliakan Guru adalah Investasi Jangka Panjang
Redenominasi: Cara Elegan Menjerat Koruptor Tanpa Drama
Nol APBD, Bukan Nol Biaya: Beban Senyap Lampung Fest 2025
Dengan Memaafkan Pembuat Meme, Bahlil Itu Visioner
Polisi Tangkap Bjorka di Dunia Tanpa Alamat?
RMD: Lampung Pride Bro

Berita Terkait

Selasa, 9 Desember 2025 - 16:33 WIB

Miskin Nalar DPR: Label “Cuma” untuk Donasi Sumatra

Minggu, 30 November 2025 - 20:46 WIB

Dari Purwokerto ke Era UMi: Sejarah BRI dan Perjalanan Ekonomi Rakyat

Selasa, 25 November 2025 - 20:02 WIB

Memuliakan Guru adalah Investasi Jangka Panjang

Minggu, 9 November 2025 - 21:17 WIB

Redenominasi: Cara Elegan Menjerat Koruptor Tanpa Drama

Jumat, 31 Oktober 2025 - 11:14 WIB

Nol APBD, Bukan Nol Biaya: Beban Senyap Lampung Fest 2025

Berita Terbaru

Lampung

Jembatan Way Kali Nurik Ambruk, BMBK Lampung Gercep Tangani

Kamis, 11 Des 2025 - 18:50 WIB

Lampung

BMBK Lampung Catat 52 Ruas Jalan Rampung Diperbaiki

Kamis, 11 Des 2025 - 18:48 WIB