Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Disparekraf) Lampung tengah menyiapkan Lampung Fest 2025. Festival pariwisata yang direncanakan berlangsung di PKOR Way Halim pada November mendatang ini dipromosikan sebagai agenda besar untuk mengangkat ekonomi kreatif daerah. Publikasi dan visualnya ambisius, lengkap dengan satu klaim yang menjadi pusat narasi: “Tanpa APBD.”
Pramoedya.id: Klaim tersebut terdengar keren. Di tengah tekanan fiskal dan pembatasan belanja kegiatan pemerintah, festival yang konon berjalan tanpa biaya anggaran daerah seolah menunjukkan efisiensi dan inovasi. Namun, ketika ditelusuri struktur pembiayaannya, klaim tersebut tidak lebih dari retorika administratif.
Informasi dari sejumlah OPD menunjukkan bahwa Disparekraf mendorong partisipasi instansi pemerintah dalam bentuk penyewaan tenan pameran. Satu tenan dipatok Rp15 juta. Dalam praktiknya, rata-rata OPD mengambil dua tenan, sehingga biaya partisipasi per instansi berada di kisaran Rp30 juta.
Lampung memiliki sekitar 40 OPD. Jika seluruhnya berpartisipasi, nilai biaya yang berputar mencapai Rp1,2 miliar. Angka itu belum termasuk kebutuhan pelengkap seperti dekorasi stan, percetakan materi promosi, dan penugasan personel, yang rata-rata menambah Rp5–10 juta per OPD. Total beban festival pada instansi pemerintah dapat mencapai Rp1,6–1,8 miliar.
Artinya, diduga kuat beban biaya tetap berasal dari APBD, hanya saja tidak ditampilkan melalui pos kegiatan Disparekraf.
Narasi “tanpa APBD” berubah menjadi sekadar pemindahan sumber biaya dari satu dinas ke dinas lain.
Masalah Akuntabilitas Anggaran
Dalam sistem keuangan daerah, setiap pengeluaran harus tercantum dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA). Kegiatan yang tidak tercatat dalam DPA tidak boleh dibiayai. Jika OPD membayar biaya partisipasi tanpa dasar kegiatan resmi, maka terjadi pengeluaran tidak sah yang berpotensi menjadi temuan audit.
Revisi DPA memang memungkinkan, tetapi proses administrasinya memerlukan waktu dan persetujuan BPKAD. Festival ini berjalan dalam waktu dekat. Ada indikasi yang cukup jelas, pengalihan biaya cenderung dilakukan melalui pos kegiatan lain yang substansinya tidak sepadan.
Kondisi ini menggambarkan inefisiensi tersembunyi. Pemerintah terlihat menghemat anggaran di satu titik, tetapi membiarkannya mengalir melalui pintu samping.
Efek Ekonomi yang Tidak Otomatis
Penggagas kegiatan menyatakan bahwa Lampung Fest akan menggerakkan pariwisata dan ekonomi kreatif. Secara teori, kegiatan pariwisata memang memiliki multiplier effect. Tetapi efek tersebut hanya terjadi jika sumber dana berasal dari luar. Misalnya sponsor, investor, atau wisatawan yang datang.
Jika biaya justru bersumber dari APBD melalui OPD, maka perputaran ekonomi hanya berputar di lingkaran internal pemerintah. Festivalnya meriah, tetapi nilai tambah ekonominya tidak tumbuh.
Dalam keadaan fiskal yang terbatas, pengalihan anggaran OPD untuk festival dapat mengganggu pelayanan dasar, mulai dari program pendidikan, kesehatan, hingga koordinasi lapangan.
Ada risiko lain. Jika tenan lebih banyak diisi OPD daripada pelaku ekonomi kreatif, maka festival ini berubah menjadi pameran birokrasi, bukan ruang pertemuan antara kreator, investor, dan konsumen.
Kegiatan ekonomi kreatif membutuhkan keterbukaan dan partisipasi publik. Pameran yang didorong dari atas dengan kepatuhan administratif tidak menghasilkan inovasi, hanya memperluas ruang seremonial.
Beban yang Tidak Diakui
Lampung Fest 2025 hampir pasti akan berlangsung meriah. Panggung akan terpasang, tamu undangan akan hadir, dan foto-foto akan menghiasi lini masa. Tetapi publik perlu memahami satu hal mendasar: “Tanpa APBD” bukan berarti tanpa biaya publik. Beban itu diduga tetap dibayar melalui OPD, lewat realokasi, lewat pos yang dipindahkan secara senyap.
Klaim tanpa APBD hanyalah perubahan jalur pengeluaran, bukan perubahan prinsip pembiayaan.
Pertanyaannya bukan lagi apakah festival ini akan berjalan sukses. Namun, berapa banyak program yang harus dikorbankan agar panggung ini tetap menyala? (*)







