Pramoedya.id: Pemerintah meluncurkan program Koperasi Desa Merah Putih di tahun 2025. Ini bukan program main-main. Targetnya ambisius: membangun koperasi di sekitar 80 ribu desa dan kelurahan di seluruh Indonesia.
Janjinya muluk: koperasi ini akan jadi tulang punggung ekonomi desa, menyediakan kebutuhan pokok, layanan kesehatan, hingga simpan pinjam yang selama ini sulit dijangkau warga.
Untuk mendukung inisiatif ini, setiap koperasi direncanakan mendapatkan modal awal hingga Rp 3 miliar berupa pinjaman dari Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), yang harus dikembalikan dalam tenor enam tahun. Ini dilengkapi dengan dukungan pendanaan lain dari APBN, APBD, dan dana desa.
Di atas kertas, semua tampak sempurna. Seperti angin segar yang akan mengubah wajah ekonomi desa. Namun, dengan peluncuran resminya yang direncanakan pada Hari Koperasi Nasional 12 Juli 2025 dan target operasional serentak pada 28 Oktober 2025, muncul pertanyaan mendasar: benarkah demikian? Atau justru kita akan menyaksikan pengulangan skenario lama dengan bungkus yang baru?
Ketika “Dari, Oleh, Untuk Anggota” Hanya Sekadar Slogan
Mari kita bicara tentang hakikat koperasi. Secara ideal, sebuah koperasi adalah milik anggotanya. Ia lahir dari kebutuhan anggota, dikelola oleh anggota, dan hasilnya untuk kesejahteraan anggota.
Modalnya, secara prinsip, bersumber dari iuran sukarela anggotanya. Pengurusnya dipilih secara demokratis melalui musyawarah, bukan ditunjuk oleh pihak mana pun, apalagi pemerintah. Prinsip ini, yang diusung oleh International Cooperative Alliance dan diatur dalam Undang-Undang Perkoperasian kita. Dengan begitu koperasi menjadi jantung dari gerakan ekonomi kerakyatan yang adil dan mandiri.
Namun, program Koperasi Merah Putih justru memunculkan keraguan besar terhadap prinsip fundamental ini, terutama dengan model pembiayaan utamanya yang berasal dari pinjaman bank, bukan murni iuran anggota di tahap awal.
Bayang-Bayang KUD, Sebuah Alarm dari Masa Lalu
Koperasi Merah Putih tak bisa dilepaskan dari bayangan sejarah kelam Koperasi Unit Desa (KUD) di era Orde Baru. Dulu, KUD yang seharusnya jadi pilar ekonomi rakyat, justru beralih fungsi jadi alat kontrol politik pemerintah.
Pengurusnya tak dipilih anggota, melainkan ditunjuk aparat. Dana besar digelontorkan, tapi KUD malah jadi proyek politik yang gagal memberdayakan rakyat. Mereka kehilangan kemandirian, dan pada akhirnya, rakyat tak merasakan manfaatnya.
Melihat skala dan pendekatan program Koperasi Merah Putih saat ini, sulit untuk tidak bertanya: apakah kita sedang mengulang sejarah yang sama? Jika model pengelolaannya masih top-downdan minim partisipasi anggota, maka potensi kegagalan KUD akan terulang, bahkan dengan biaya yang jauh lebih besar dalam bentuk kewajiban pinjaman.
Dana Pinjaman Melimpah, Pengetahuan Minim: Ini Sebuah Resep Bencana?
Salah satu persoalan paling krusial adalah minimnya pendidikan dan pelatihan yang memadai bagi para pengurus koperasi. Koperasi itu bukan sekadar lembaga formal yang didirikan, ia membutuhkan pengelola yang benar-benar paham prinsip koperasi, melek tata kelola keuangan (termasuk manajemen utang pinjaman), punya kemampuan manajerial, dan tahu cara membangun partisipasi anggota.
Tanpa bekal pengetahuan dan keterampilan ini, pengurus berisiko menjalankan koperasi layaknya birokrasi biasa yang kaku dan tidak akuntabel. Bayangkan: pinjaman hingga triliunan rupiah (jika diakumulasi untuk 80 ribu desa) dikelola oleh orang-orang yang belum terlatih secara optimal.
Ini bukan cuma masalah inefisiensi, tapi juga potensi besar terjadinya salah kelola dana, kesulitan pengembalian pinjaman, bahkan korupsi. Alih-alih memberdayakan, dana pinjaman ini bisa berubah jadi beban utang dan proyek mangkrak di desa.
Faktanya, berdasarkan hasil tanya-tanya Gwaaa ke beberapa pengurus koperasi desa merah putih di Lampung. Pengurus koperasi merah putih di Lampung tidak melewati pendidikan koperasi terlebih dahulu.
Padahal, pendidikan adalah fondasi; tanpanya, koperasi hanya akan jadi “koperasi di atas kertas” yang gagah di slogan, tapi rapuh di kenyataan.
Demokrasi Anggota Itu Fondasi yang Tak Boleh Ditawar
Musyawarah anggota adalah nyawa koperasi. Di sanalah anggota berdaulat, menentukan kebijakan, memilih pengurus, dan mengawasi jalannya organisasi. Ini adalah esensi dari demokrasi ekonomi yang ingin dibangun.
Namun, hingga saat ini, belum ada kepastian kuat bahwa Koperasi Merah Putih akan benar-benar mengutamakan proses demokrasi anggota ini.
Yang penulis tahu musyawarah memang diadakan oleh Kepala Desa, namun itu hanya seremoni semata. Selebihnya nama “pilihan” kepala Desa sudah disiapkan.
Jika pengurus ditunjuk, bukan dipilih secara partisipatif, maka koperasi kehilangan ruhnya. Ia tak lebih dari perpanjangan tangan birokrasi pemerintah desa, jauh dari cita-cita kedaulatan ekonomi rakyat.
Terobosan Nyata atau Sekadar Rebranding Kegagalan?
Koperasi Merah Putih memiliki potensi luar biasa untuk menjadi terobosan sejati dalam pemberdayaan ekonomi desa. Ini bisa terjadi jika dan hanya jika ia benar-benar menempatkan pendidikan koperasi yang masif, penguatan kapasitas anggota, dan demokrasi internal sebagai pilarnya, serta mengelola skema pinjaman modal ini dengan sangat transparan dan akuntabel.
Namun, jika prinsip-prinsip krusial ini diabaikan, program ini hanya akan menjadi proyek besar yang mengulang kesalahan sejarah, dengan potensi beban utang yang mungkin sia-sia.
Perlu kita ketahui, koperasi sejati tumbuh dari bawah, dari solidaritas dan inisiatif rakyat.
Jika pemerintah serius ingin membangun kemandirian ekonomi desa, Koperasi Merah Putih harus sungguh-sungguh menjadi milik rakyat: dari, oleh, dan untuk anggota-anggotanya.
Jika tidak, Gwaa menilai program ini hanya akan menjadi kisah tragis tentang dana pinjaman triliunan yang lenyap, dan harapan rakyat yang hancur. Sebuah “barang usang” yang dicat ulang dengan nama dan bendera baru, tanpa membawa perubahan substantif. (*)