Di setiap helaan napas pemerintahan, ada keputusan yang bisa menentukan nasib sebuah wilayah. Namun, apa jadinya ketika keputusan-keputusan krusial ini justru ditunda, bukan karena kekurangan waktu, tetapi karena sesuatu yang diperebutkan?
Pramoedya.id: Di Lampung, setelah pelantikan kepala daerah serentak pada Februari 2025, kita melihat sebuah paradoks: rotasi pejabat yang diharapkan menjadi angin segar untuk birokrasi malah berjalan lambat, tersumbat oleh syahwat walau terkadang kinerja cuma macam angin lewat.
Samar namun tetap nampak bahwa ada pertarungan sengit di balik layar untuk mempengaruhi arah kebijakan dan menahan roda pemerintahan tetap berputar dalam pola lama yang lebih nyaman bagi sebagian pihak. Ketika waktu terbuang, siapa yang sebenarnya diuntungkan? Dan, lebih penting lagi, siapa yang dirugikan?
Pergantian jabatan dalam dunia pemerintahan adalah hal yang lumrah, namun sering kali terabaikan meski dampaknya sangat besar terhadap kelancaran birokrasi. Di Provinsi Lampung, pasca pelantikan Gubernur Rahmat Mirzani Djausal (RMD), pertanyaan penting mulai muncul: mengapa pergantian pejabat strategis berlangsung begitu lambat? Padahal, di daerah seperti Jawa, Kalimantan, hingga Sulawesi, reposisi telah dilaksanakan jauh lebih cepat. Ironisnya, di Lampung, proses rotasi justru baru menyentuh level eselon III dan IV, sementara jabatan strategis di level atas belum tersentuh.
Di balik fenomena ini, terdapat cerita tentang kekuasaan yang lebih dalam. Informasi yang berkembang menunjukkan adanya kelompok pejabat di Pemprov Lampung yang tengah menguatkan pengaruh mereka dalam struktur birokrasi. Para pejabat yang terlibat, yang diduga memiliki latar belakang serupa, seakan menunda rotasi jabatan ini dengan maksud tertentu. Salah satu dugaan yang beredar adalah mereka sedang mencari celah agar Gubernur RMD bisa mengakomodasi rekomendasi mereka sebanyak mungkin. Ini lebih dari sekadar pengelolaan pemerintahan—ini adalah soal siapa yang akan mengendalikan keputusan-keputusan penting.
Tentu saja, langkah ini bisa dianggap sebagai upaya untuk “buying time“. Dengan memperlambat rotasi jabatan, kelompok ini memberi ruang bagi mereka untuk memastikan posisi-posisi strategis tetap berada di tangan mereka. Ini adalah bentuk proteksi yang jelas, mencerminkan ketidaksediaan untuk melepaskan pengaruh yang selama ini mereka pegang. Kekuasaan, pada dasarnya, adalah sesuatu yang sulit untuk dilepaskan, apalagi ketika itu terkait dengan posisi-posisi yang mampu menggerakkan roda pemerintahan.
Namun, ada dampak besar yang timbul dari lambatnya proses ini. Pertama, ketidakpastian dalam struktur pemerintahan dapat memperlambat kinerja birokrasi. Pejabat yang seharusnya segera ditempatkan justru kosong, atau lebih buruk lagi, tetap dikuasai oleh mereka yang tidak sepenuhnya berkomitmen pada Gubernur yang baru.
Situasi ini mengancam stabilitas organisasi pemerintah, di mana program strategis bisa terhambat karena kurangnya pejabat yang diberi kewenangan penuh untuk menjalankan tugasnya. Padahal RMD-Jihan teriakannya cukup keras di dalam narasi akselerasi kinerja Provinsi Lampung.
Ketidakjelasan dalam rotasi jabatan berpotensi menimbulkan kebingungannya pembagian tanggung jawab. Tanpa pejabat yang definitif serta kompeten, pengambilan keputusan bisa tertunda dan berbahaya. Akibatnya, sektor-sektor yang membutuhkan pelayanan langsung dari pemerintah daerah akan merasakan dampaknya, pada akhirnya dapat menurunkan kualitas pelayanan publik.
Lebih jauh lagi, dampak jangka panjang dari lambatnya rotasi jabatan adalah berlarut-larutnya budaya patronase dalam birokrasi. Ketika pejabat tertentu dipertahankan hanya karena loyalitas politik atau kedekatannya dengan kelompok tertentu, bukan berdasarkan kinerja, ini bisa memperburuk sistem pemerintahan yang seharusnya berbasis pada meritokrasi. Pemerintahan yang sehat dan efektif tidak akan terbentuk dalam sistem di mana kedekatan dengan kekuasaan lebih dihargai daripada kompetensi dan hasil kerja.
Namun, ada peluang bagi Gubernur RMD untuk mengambil langkah tegas. Meskipun tantangan yang dihadapi cukup besar, keberanian untuk melakukan rotasi pejabat strategis yang cepat dan tepat bisa menjadi bukti keseriusan dalam memperkuat struktur pemerintahan. Langkah ini bukan hanya penting untuk memastikan kelancaran administrasi, tetapi juga untuk mengamankan loyalitas terhadap dirinya sebagai kepala daerah yang baru.
Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, sudah memberi lampu hijau sejak Januari 2025. Dengan izin ini, RMD seharusnya bisa mengambil keputusan tanpa hambatan lebih lanjut. Namun, jika proses rotasi ini terus terhambat, kita harus mengakui risiko politik yang semakin memanas, di mana loyalitas terhadap kelompok tertentu lebih diutamakan daripada efisiensi dan profesionalisme pemerintahan.
Pada akhirnya, lambatnya rolling jabatan ini bukan sekadar soal teknis administratif. Ini adalah masalah mendasar mengenai bagaimana kekuasaan dijalankan, bagaimana loyalitas dipertahankan, dan bagaimana masa depan birokrasi akan terbentuk berdasarkan keberanian pemimpin dalam membuat keputusan yang berdampak besar. Masyarakat tentu akan terus mengawasi, apakah RMD mampu menavigasi situasi ini dengan bijaksana dan membawa Lampung menuju perubahan yang lebih baik, atau justru terjebak dalam politik kekuasaan yang berlarut-larut.(*)