“Korupsi dan kekuasaan, ibarat dua sisi dari satu mata uang. korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan merupakan pintu masuk bagi tindak korupsi”.
Pramoedya.id: Kalimat Lord Acton (guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Inggris, yang hidup di abad ke-19) ini seakan menemukan relevansinya dalam kisah panjang tata kelola energi di negeri ini—terutama ketika segelintir orang mempermainkan hajat hidup orang banyak demi keuntungan pribadi.
Kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang yang kini menyeret sejumlah petinggi PT Pertamina Patra Niaga dan PT Kilang Pertamina Internasional hanyalah satu bab dalam buku tebal praktik curang yang telah berulang. Modusnya klasik: manipulasi harga, impor yang tidak perlu, dan permainan angka yang membuat negara kehilangan Rp193,7 triliun—angka yang, dalam perspektif sederhana, berarti subsidi yang lebih besar, harga BBM yang lebih murah, atau infrastruktur energi yang lebih baik bagi masyarakat.
Kejaksaan Agung mengungkap bagaimana minyak mentah dalam negeri yang seharusnya diserap justru ditolak dengan dalih spesifikasi tak sesuai dan nilai ekonomi yang dianggap rendah. Ini memicu reaksi berantai: bagian minyak dalam negeri diekspor, sementara kebutuhan domestik dipenuhi dengan impor melalui perantara yang telah “diatur” sejak awal. Harga pun melambung karena pembelian dilakukan dengan mekanisme spot yang tidak transparan.
Lebih dari sekadar permainan impor, ada pula praktik oplosan bahan bakar yang memperlihatkan betapa rakusnya mereka yang bermain dalam bisnis energi ini. BBM berjenis RON 90 (Pertalite) yang lebih murah diakui sebagai RON 92 (Pertamax) yang lebih mahal, lalu dioplos di depo penyimpanan. Jika ini bukan bentuk pengkhianatan terhadap publik, lalu apa?
Dampak dari skema ini begitu nyata. Harga dasar BBM yang menjadi patokan indeks pasar melonjak. Negara pun harus turun tangan dengan memberi subsidi dan kompensasi, pada akhirnya kejahatan ini membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Artinya, uang rakyat yang seharusnya dialokasikan untuk kesehatan, pendidikan, dan pembangunan justru tersedot untuk menutupi kebocoran yang disengaja segelintir pihak.
Kisah ini bukan hanya tentang angka triliunan atau daftar panjang tersangka. Ini tentang bagaimana kebijakan yang seharusnya berpihak pada kepentingan nasional justru dimanipulasi demi keuntungan pribadi. Bagaimana kepercayaan publik terhadap pengelolaan energi, yang seharusnya menjadi sektor strategis negara, terus digerus oleh kepentingan jangka pendek segelintir elite.
Dan yang lebih ironis, di tengah kerugian triliunan, masyarakat tetap harus antre di SPBU, mengeluhkan harga BBM yang kian mahal. Sementara itu, para pelaku menikmati hasil kejahatannya di balik layar, mungkin sembari menunggu celah baru untuk mengulangi permainan lama.
Terkadang masyarakat membeli Pertamax bukan karena kebanyakan uang, tetapi jalur Pertalite terlalu panjang. Dan banyak dari kita yang ternyata membeli BBM bersubsidi dengan harga non subsidi.(*)