Pramoedya.id: Sejarah telah berulang kali membuktikan bahwa rezim otoriter tidak runtuh oleh manuver elite politik, tetapi oleh gerakan akar rumput yang lahir dari rakyat yang muak dengan penindasan. Mahasiswa, buruh, petani, dan berbagai elemen sipil telah menjadi ujung tombak dalam menumbangkan penguasa yang menindas.
Soeharto, misalnya, jatuh bukan karena rival politiknya, melainkan karena mahasiswa, petani, buruh, dan rakyat kecil yang sudah bosan dicekik sistem.
Kini, di era Prabowo Subianto, ada kekhawatiran bahwa pola lama Orde Baru (Orba) sedang dihidupkan kembali.
Jika Prabowo terus mengulang formula yang sama dari kooptasi politik dan represi terhadap suara kritis maka skeptisisme bahwa ia bisa menyelesaikan satu periode penuh menjadi wajar. Bisa jadi, nasibnya tak jauh beda dengan mantan mertuanya. Kirannya itu prolog yang penulis hidangkan.
Awal tahun 2025 menjadi saksi gelombang protes besar-besaran di berbagai kota di Indonesia. Gerakan “Indonesia Gelap” muncul bukan sekadar sebagai reaksi atas pemotongan anggaran pendidikan, tapi juga sebagai tanda bahwa rakyat mulai sadar bahwa pola Orba sedang bangkit kembali.
Hanya dalam 100 hari pertama pemerintahannya, Prabowo sudah menunjukkan warna asli kepemimpinannya yang mirip dengan Orba, meski dalam kemasan yang lebih modern.
Salah satu contoh nyata terjadi di Papua. Ribuan orang turun ke jalan menolak program Makan Bergizi Gratis (MBG). Bukan karena mereka menolak bantuan itu sendiri, tapi karena mereka muak diperlakukan seperti anak kecil yang hanya perlu disuapi.
Mereka butuh pendidikan berkualitas, akses ekonomi yang adil, bukan sekadar piring nasi sebagai alat populisme. Ini adalah pola lama yang pernah digunakan Soeharto, bantuan sosial sebagai alat kontrol, bukan solusi nyata.
Kini, Prabowo, mantan menantunya, tampaknya mengadopsi pendekatan serupa menyuapi rakyat dengan program populis sambil membatasi akses politik dan ekonomi mereka.
Di tingkat politik, Prabowo bergerak lebih cepat daripada Soeharto. Jika Soeharto butuh bertahun-tahun untuk mematikan oposisi, Prabowo hanya perlu 100 hari untuk memastikan semua elite politik ada di genggamannya. Wacana koalisi permanen yang ia usung bukan sekadar strategi politik, tapi upaya untuk memastikan oposisi tidak punya ruang untuk bernapas.
Seperti Orba dengan Golkarnya, Prabowo ingin partai-partai politik hanya jadi pajangan. Ada tapi tak berarti.
Belum genap setahun berkuasa pun, Partai Gerindra sudah mulai bicara tentang dua periode untuk Prabowo. Ambisi? Bisa jadi. Tapi ini juga cerminan pola pikir yang melihat demokrasi sebagai formalitas belaka.
Soeharto dulu menyusun peta politik agar pemilu jadi ritual tanpa kejutan. Prabowo? Dia sedang menulis skenario yang mirip, hanya dengan dialog yang lebih kekinian.
Namun yang perlu diketahui sejarah punya kebiasaan nakal. Mereka yang terlalu rakus pada kekuasaan seringkali jatuh oleh rakyat yang lelah ditindas.
Soeharto dulu mengira akan berkuasa selamanya, sampai mahasiswa dan rakyat yang ia abaikan menulis akhir ceritanya.
Jika Prabowo terus menapaki jalan yang sama, siapa tahu? Mungkin rakyat Indonesia akan kembali menulis bab baru dalam buku sejarah mereka. (*)