Pramoedya.id: Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) resmi melarang perusahaan menahan ijazah dan dokumen pribadi milik pekerja. Larangan tersebut tertuang dalam Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/5/HK.04.00/V/2025 yang diterbitkan pada 20 Mei 2025, sehari sebelum Hari Kebangkitan Nasional.
Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, menyatakan bahwa praktik penahanan ijazah selama ini telah menjadi pola umum yang merugikan buruh. Ia menyebut, banyak pengusaha menahan ijazah sebagai bentuk jaminan agar pekerja tidak meninggalkan perusahaan, bahkan digunakan untuk menekan pekerja yang memiliki utang atau pekerjaan belum rampung. Dalam posisi yang tidak setara, kata dia, pekerja menjadi pihak paling dirugikan.
“Pekerja tentu saja tidak dapat dengan mudah mendapatkan kembali ijazahnya. Ini bentuk relasi kerja yang timpang dan harus diakhiri,” ujar Yassierli dalam konferensi pers di kantor Kemnaker, Rabu (20/5.2025).
Menurutnya, dokumen pribadi seperti ijazah, paspor, buku nikah, hingga sertifikat kompetensi adalah bagian dari hak pekerja yang tidak boleh disandera oleh perusahaan. Selain melanggar etika ketenagakerjaan, praktik ini juga dapat merugikan masa depan pekerja. Ia menilai, penahanan ijazah berpotensi menghambat kesempatan seseorang untuk berkembang dan berpindah kerja, bahkan bisa berdampak pada produktivitas dan kesejahteraan jangka panjang.
Surat Edaran itu melarang secara tegas perusahaan untuk mensyaratkan atau menahan dokumen asli milik pekerja. Meski begitu, dalam kondisi tertentu, penyerahan ijazah bisa diperbolehkan—misalnya jika pendidikan dan pelatihan pekerja dibiayai langsung oleh perusahaan. Dalam hal ini, perusahaan wajib menjamin keamanan dokumen dan bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan.
Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer, bahkan menyebut praktik penahanan ijazah sebagai bentuk modern dari perbudakan. Ia mengutip Konvensi ILO Nomor 29 Tahun 1930 yang mengklasifikasikan penahanan dokumen sebagai bentuk kerja paksa yang bisa dipidanakan.
“Siapapun yang menahan ijazah karyawan harus kita anggap melakukan tindakan kriminal,” ujar Immanuel yang akrab disapa Noel.
Noel menambahkan, pihaknya akan mendorong agar kebijakan ini tidak hanya sebatas surat edaran, tetapi juga diperkuat melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan agar memiliki daya ikat hukum yang lebih kuat. Namun untuk jangka pendek, SE dianggap sebagai langkah cepat untuk menekan praktik yang sudah mengakar di banyak sektor, termasuk di perusahaan pelat merah.
“Saya sudah menerima aduan dari beberapa BUMN yang juga menahan ijazah. Ini tidak bisa dibiarkan. Kami akan sampaikan langsung ke Menteri BUMN agar menerbitkan aturan serupa di lingkungan perusahaan milik negara,” kata Noel.
Kemnaker juga meminta kepala daerah—gubernur, bupati, dan wali kota—untuk ikut mengawasi dan menindak perusahaan yang masih menahan dokumen pekerja. Pemerintah berharap hubungan industrial yang sehat tidak hanya dibangun lewat aturan, tetapi juga lewat penghormatan atas hak dasar pekerja. (*)