Parcel Hari Raya untuk Sidang: Ketika Fakultas Dakwah UIN Lampung Kehilangan Nilai-nilai Dakwah

- Editor

Minggu, 11 Mei 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Muhammad Iman Ibrahim (Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN RIL)

Muhammad Iman Ibrahim (Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN RIL)

Oleh: Muhammad Iman Ibrahim (Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN RIL)

Pramoedya.id: Kampus adalah taman-taman intelektual tempat bertemunya ilmu dan kemanusiaan. Tempat di mana akal sehat seharusnya lebih dihormati daripada merek sepatu atau isi parsel. Tapi, mari kita tertawa kencang bersama-sama atau senyum dulu lah minimal WKWKWKWK/, sebelum menangis pilu dalam hati.

Di sebuah ujung wilayah kota, terdapat salah satu Universitas bersimbol Islam yang mempunyai gerbang pintu masuk bernilai miliaran rupiah “kata para penelitian gapura”. Pendidikan justru kerap dikubur di balik tumpukan parsel berisi sembako dan ego dosen yang tak tuntas berdamai dengan masa lalu.

Tentu, kita tak akan membahas gapura bernilai miliaran itu. Biarlah jadi urusan auditor, kelompok aktivis kampus yang lain, atau Tuhan. Kami lebih tertarik pada satu sudut yang melewati gapura megah bernilai miliaran itu, yaitu wilayah teritorial kecil yang katanya pusat dakwah dan ilmu komunikasi: Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Raden Intan Lampung.

Sayangnya yang terjadi di sana bukan dakwah, bukan pula komunikasi. Tapi praktik minta-minta yang disamarkan jadi “ucapan terima kasih”. Seolah-olah kelulusan mahasiswa ditentukan bukan oleh logika argumen skripsinya, tapi kualitas merek kopi, teh tarik, minyak pelumas wajan kosong dan biskuit dalam bingkisan.

Mari kita intip sedikit lelucon menggelitik seorang mahasiswa dari keluarga kelas menengah-bawah. Saat dipanggil secara mendadak untuk sidang, dirinya panik menghitung recehan yang sebetulnya hanya cukup untuk hidup sebagai perantauan. Tapi ya sudahlah, di korbankan nya uang makan itu membeli bawaan yang dianggap layak dengan uang seadanya.

Setelah sidang, alih-alih mendapat selamat ia justru dimarahi oleh penguasa ke empat, “kamu ini nggak tahu terima kasih”. Hehehe, betapa indahnya peradaban pendidikan ini ya. Rupanya selain jurnal dan skripsi, mahasiswa juga harus menulis daftar harga sembako terbaru agar bisa lulus.

Kalau Multatuli jadi mahasiswa FDIK UIN RIL, ia pasti akan menulis Max Havelaar jilid dua. Tapi bukan tentang bupati Lebak, melainkan tentang dosen fakultas dakwah yang menjadikan kekuasaannya sebagai alat represi. Kita mengenal kisah kolonial Belanda yang memeras rakyat dengan sistem tanam paksa. Hari ini, dalam versi kampus Islam, hal itu diubah menjadi ‘tanam bingkisan paksa’.

Begitu pula dengan Pierre Bourdieu, menyebut budaya ini sebagai fenomena kekerasan simbolik. Kekuasaan dipraktikkan bukan melalui pemukulan atau bentakan, tapi lewat legitimasi sosial yang diamini semua orang. Mahasiswa tahu bahwa tanpa sembako, tanpa ‘baik-baikin’ dosen, nilai bisa nyangkut. Mereka belajar diam, patuh, bahkan ikut mereproduksi budaya ini demi bertahan untuk tidak tertembak cepat di wilayah teritorialnya.

Jangan lupakan pupuk tambahan ‘dendam pribadi’, ketika dosen membawa urusan pribadi ke ranah profesional. Kalimat seperti “kau tidak patuh padaku, akan ku persulit hidupmu” menjadi bagian dari kurikulum tersembunyi. Bukan cuma bimbingan skripsi, tapi bimbingan tekanan psikologis. Coba kita ilusi kan saja, mahasiswa disuruh belajar ilmu komunikasi dari seseorang yang bahkan tak bisa membedakan antara kritik dan pembangkangan.

Dakwah apa yang sedang diajarkan di situ?

Dakwah penindasan!!

Komunikasi model apa yang sedang dibentuk?

Komunikasi lobying menguras kantong si miskin!!

Di fakultas yang seharusnya melahirkan pendakwah masa depan, justru lahir para korban sistem. Mereka lulus bukan karena ilmu, tapi bertahan dari tekanan dan memuaskan selera kekuasaan. Sistem ini tak lahir sendirian, ia dibesarkan bersama budaya diam, ketakutan, dan penerimaan yang dianggap ‘sudah biasa’.

Multatuli menulis karena muak melihat pejabat kolonial dan bangsawan lokal bekerja sama menyengsarakan rakyat. Hari ini, kita juga punya bangsawan lokal versi baru. Mereka mengenakan toga, memegang lembar nilai, dan merasa berhak menentukan masa depan mahasiswa hanya karena punya gelar.

Patut di ingat, mahasiswa tidak boleh terus bungkam dan menjadi korban. Sebab, pendidikan bukan transaksi dan kampus bukan pasar neoliberalisme. Kepada para pemegang kekuasaan atau si penggembala akademik, biarkan ilmu berjalan tanpa dibebani parsel. Jika tidak mampu mengajar dengan nurani, setidaknya berhentilah mengajar dengan gengsi.

Karena jika kita terus membiarkan kebusukan ini terjadi, maka tak lama lagi, fakultas dakwah hanya akan jadi tempat paling sunyi bagi nilai-nilai Islam. Tempat di mana ‘dakwah’ hanya tinggal nama, dan ‘ilmu’ digantikan dengan plastik kresek berisi gula, minyak, dan sedikit rasa gosong atas minyak hitam. Salam Akal Sehat. (*)

Berita Terkait

Ekosipasi: Antara Kopi, Gunung, dan Asap Cerutu – Sebuah Filosofi Hidup dan Perjuangan
Skandal Meritokrasi di Lampung Tengah: Ketika Jabatan Sekda Jadi Urusan Keluarga
Kelola Keuangan Daerah Bukan Seperti Mengelola Warmindo
Pramoedya dan Perlawanan Digital: Refleksi atas Nasib Driver Ojol dalam Kapitalisme Pengawasan
Mitra Bukan Pekerja: Seruan dari Jenewa
Dari Pesantren ke Dunia Kerja: Lampung Siapkan Generasi Berbasis Green Job
2030, Saat Dunia Dipimpin oleh AI
Usia, Diskriminasi, dan Paradoks Pasar Kerja

Berita Terkait

Jumat, 13 Juni 2025 - 20:23 WIB

Ekosipasi: Antara Kopi, Gunung, dan Asap Cerutu – Sebuah Filosofi Hidup dan Perjuangan

Kamis, 12 Juni 2025 - 19:47 WIB

Skandal Meritokrasi di Lampung Tengah: Ketika Jabatan Sekda Jadi Urusan Keluarga

Kamis, 12 Juni 2025 - 08:30 WIB

Kelola Keuangan Daerah Bukan Seperti Mengelola Warmindo

Rabu, 11 Juni 2025 - 19:57 WIB

Pramoedya dan Perlawanan Digital: Refleksi atas Nasib Driver Ojol dalam Kapitalisme Pengawasan

Selasa, 10 Juni 2025 - 06:41 WIB

Mitra Bukan Pekerja: Seruan dari Jenewa

Berita Terbaru

Sumber| Fimela (ilustrasi)

Hukum dan Kriminal

Kacau! Mantri di Pringsewu Potong Pucuk Alat Kelamin Anak Saat Khitan

Minggu, 15 Jun 2025 - 18:21 WIB

Politik dan Pemerintahan

Edi Irawan Hibahkan Kantor Demokrat Lampung ke DPP

Minggu, 15 Jun 2025 - 17:19 WIB

LBH Dharma Loka Nusantara Desak Pemda Buat Perda Turunan UU TPKS

Hukum dan Kriminal

LBH Dharma Loka Nusantara Desak Pemda Buat Perda Turunan UU TPKS

Minggu, 15 Jun 2025 - 17:05 WIB