Ditulis oleh: Pengurus Dema FDIK Bidang Hubungan Antar Lembaga, Pengurus Dema FDIK Bidang Hubungan Antar Lembaga, M. Nopal Sawaludin.
Pramoedya.id: Sepekan lalu, sambutan Wakil Gubernur Lampung, Jihan Nurlela, pada peringatan Hardiknas 2025 beredar di TikTok bak siraman rohani kekinian melalui platform digital menyebut tentang “jalan panjang pengembangan pendidikan dan menuju akses pendidikan yang merata, berkeadilan di setiap daerah dan sekolah.”
Kata-katanya enak didengar, cocok dijadikan backsound reel Instagram, mungkin bisa juga masuk dalam baliho-baliho bersama pesona senyum indahnya agar lebih enak di lihat sekaligus di baca.
Namun sayangnya, realitas pendidikan kita bukanlah puisi. Ia lebih mirip catatan utang: panjang, penuh koreksi, dan sering dilipat-lipat agar tak terlihat orang rumah.
Pernyataan sang wakil gubernur itu, jika dibaca sekilas, terdengar seperti Ira shor yang sedang menentang penindasan pendidikan. Tapi jika ditelisik lebih dalam, malah terasa seperti jargon developmentalisme yang sudah diulang sejak era televisi masih hitam-putih: bangun jalan, bangun gedung, bangun gapura sekolah, lalu tutup mata terhadap isi di dalamnya.
Pertanyaannya: apakah pendidikan hanya soal jalan dan bangunan?
seluruh sektor Pendidikan formal di Lampung hari ini lebih sering jadi ladang subur bagi para tengkulak proyek dan buzzer anggaran.
Jalan panjang itu, alih-alih mengantar peserta didik ke gerbang ilmu, justru membawa pengusaha ke halaman belakang dinas pendidikan.
Jalan pendidikan kita memang panjang bukan berarti lurus karena memang berliku, penuh lubang, dan rawan dipatok wajah-wajah beringas yang penuh ambisi sebut saja para kalkulus integral ekonomi.
Kini, kita bukan hanya bicara kapitalisme, tapi neoliberalisme: versi upgrade dari kerakusan ekonomi. Pendidikan diposisikan seperti barang dagang di rak swalayan: semakin banyak tersedia, semakin murah nilainya. Semakin langka kualitas, semakin mahal harganya.
setiap jenjang pendidikan Formal pasti menjual nilai, kuota wisuda, tugas akhir dan lain sebagainya yang sekiranya bisa meraih keuntungan para kelompok kalkulus integral ekonomi untuk memperbesar mejikom perutnya.
Ki Hadjar Dewantara pasti geleng-geleng di alamnya sana. Dulu beliau mengajarkan: “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karso, tut wuri handayani.” Tapi hari ini, yang di depan sibuk cari komisi, yang di tengah tenggelam dalam rapat koordinasi, dan yang di belakang cuma bisa mendorong proposal BOS.
huftt… Pendidikan hari ini seperti hukum ekonomi: siapa punya kuasa, dia menentukan harga. Maka tak heran jika kualitas menjadi mahal, sementara yang murah hanyalah seragam dan janji-janji tiap Hardiknas.
Sudah saatnya pejabat terutama mereka yang hobi bicara “jalan panjang” turun ke jalan-jalan pendidikan yang sesungguhnya. Lihat sekolah-sekolah di Seluruh Lampung sampai ke pelosoknya.
Lihat guru honorer yang gajinya tak cukup untuk beli kuota. Lihat ruang kelas yang temboknya mengelupas seperti janji politik.
Pendidikan bukan panggung pidato. Ia bukan sekadar jalan yang dibangun dari dana APBD dan dihitung dengan satuan kilometer. Pendidikan adalah perjuangan panjang untuk memanusiakan manusia. Dan sayangnya, hari ini, ia lebih sering memanusiakan laba.
Selamat Hari Pendidikan Nasional 2025. Semoga pendidikan kita tak tersesat di jalan panjang menuju rekening para pengembang.