Jalan Panjang Pendidikan Versi Wagub Lampung Menuju Proyek Kelompok Kalkulus Ekonomi

- Editor

Jumat, 9 Mei 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

M. Nopal Sawaludin, Pengurus Dema FDIK Bidang  Hubungan Antar Lembaga

M. Nopal Sawaludin, Pengurus Dema FDIK Bidang Hubungan Antar Lembaga

Ditulis oleh: Pengurus Dema FDIK Bidang  Hubungan Antar Lembaga, Pengurus Dema FDIK Bidang  Hubungan Antar Lembaga, M. Nopal Sawaludin.

Pramoedya.id: Sepekan lalu, sambutan Wakil Gubernur Lampung, Jihan Nurlela, pada peringatan Hardiknas 2025  beredar di TikTok bak siraman rohani kekinian melalui platform digital menyebut tentang “jalan panjang pengembangan pendidikan dan menuju akses pendidikan yang merata, berkeadilan di setiap daerah dan sekolah.”

Kata-katanya enak didengar, cocok dijadikan backsound reel Instagram, mungkin bisa juga masuk dalam baliho-baliho bersama pesona senyum indahnya agar lebih enak di lihat sekaligus di baca.

Namun sayangnya, realitas pendidikan kita bukanlah puisi. Ia lebih mirip catatan utang: panjang, penuh koreksi, dan sering dilipat-lipat agar tak terlihat orang rumah.

Pernyataan sang wakil gubernur itu, jika dibaca sekilas, terdengar seperti Ira shor yang sedang menentang penindasan pendidikan. Tapi jika ditelisik lebih dalam, malah terasa seperti jargon developmentalisme yang sudah diulang sejak era televisi masih hitam-putih: bangun jalan, bangun gedung, bangun gapura sekolah, lalu tutup mata terhadap isi di dalamnya.

Pertanyaannya: apakah pendidikan hanya soal jalan dan bangunan?

seluruh sektor Pendidikan formal di Lampung hari ini lebih sering jadi ladang subur bagi para tengkulak proyek dan buzzer anggaran.

Jalan panjang itu, alih-alih mengantar peserta didik ke gerbang ilmu, justru membawa pengusaha ke halaman belakang dinas pendidikan.

Jalan pendidikan kita memang panjang bukan berarti lurus karena memang berliku, penuh lubang, dan rawan dipatok wajah-wajah beringas yang penuh ambisi sebut saja para kalkulus integral ekonomi.

Kini, kita bukan hanya bicara kapitalisme, tapi neoliberalisme: versi upgrade dari kerakusan ekonomi. Pendidikan diposisikan seperti barang dagang di rak swalayan: semakin banyak tersedia, semakin murah nilainya. Semakin langka  kualitas, semakin mahal harganya.

setiap jenjang pendidikan Formal pasti menjual nilai, kuota wisuda, tugas akhir dan lain sebagainya yang sekiranya bisa meraih keuntungan  para kelompok kalkulus integral ekonomi untuk memperbesar mejikom perutnya.

Ki Hadjar Dewantara pasti geleng-geleng di alamnya sana. Dulu beliau mengajarkan: “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karso, tut wuri handayani.” Tapi hari ini, yang di depan sibuk cari komisi, yang di tengah tenggelam dalam rapat koordinasi, dan yang di belakang cuma bisa mendorong proposal BOS.

huftt… Pendidikan hari ini seperti hukum ekonomi: siapa punya kuasa, dia menentukan harga. Maka tak heran jika kualitas menjadi mahal, sementara yang murah hanyalah seragam dan janji-janji tiap Hardiknas.

Sudah saatnya pejabat terutama mereka yang hobi bicara “jalan panjang” turun ke jalan-jalan pendidikan yang sesungguhnya. Lihat sekolah-sekolah di Seluruh Lampung sampai ke pelosoknya.

Lihat guru honorer yang gajinya tak cukup untuk beli kuota. Lihat ruang kelas yang temboknya mengelupas seperti janji politik.

Pendidikan bukan panggung pidato. Ia bukan sekadar jalan yang dibangun dari dana APBD dan dihitung dengan satuan kilometer. Pendidikan adalah perjuangan panjang untuk memanusiakan manusia. Dan sayangnya, hari ini, ia lebih sering memanusiakan laba.

Selamat Hari Pendidikan Nasional 2025. Semoga pendidikan kita tak tersesat di jalan panjang menuju rekening para pengembang.

Berita Terkait

Ekosipasi: Antara Kopi, Gunung, dan Asap Cerutu – Sebuah Filosofi Hidup dan Perjuangan
Skandal Meritokrasi di Lampung Tengah: Ketika Jabatan Sekda Jadi Urusan Keluarga
Kelola Keuangan Daerah Bukan Seperti Mengelola Warmindo
Pramoedya dan Perlawanan Digital: Refleksi atas Nasib Driver Ojol dalam Kapitalisme Pengawasan
Mitra Bukan Pekerja: Seruan dari Jenewa
Dari Pesantren ke Dunia Kerja: Lampung Siapkan Generasi Berbasis Green Job
2030, Saat Dunia Dipimpin oleh AI
Usia, Diskriminasi, dan Paradoks Pasar Kerja

Berita Terkait

Jumat, 13 Juni 2025 - 20:23 WIB

Ekosipasi: Antara Kopi, Gunung, dan Asap Cerutu – Sebuah Filosofi Hidup dan Perjuangan

Kamis, 12 Juni 2025 - 19:47 WIB

Skandal Meritokrasi di Lampung Tengah: Ketika Jabatan Sekda Jadi Urusan Keluarga

Kamis, 12 Juni 2025 - 08:30 WIB

Kelola Keuangan Daerah Bukan Seperti Mengelola Warmindo

Rabu, 11 Juni 2025 - 19:57 WIB

Pramoedya dan Perlawanan Digital: Refleksi atas Nasib Driver Ojol dalam Kapitalisme Pengawasan

Selasa, 10 Juni 2025 - 06:41 WIB

Mitra Bukan Pekerja: Seruan dari Jenewa

Berita Terbaru

Politik dan Pemerintahan

Edi Irawan Hibahkan Kantor Demokrat Lampung ke DPP

Minggu, 15 Jun 2025 - 17:19 WIB

LBH Dharma Loka Nusantara Desak Pemda Buat Perda Turunan UU TPKS

Hukum dan Kriminal

LBH Dharma Loka Nusantara Desak Pemda Buat Perda Turunan UU TPKS

Minggu, 15 Jun 2025 - 17:05 WIB