Uang Komite Sudah Dihapus, Tapi Dosa Lama Jangan Dikubur

- Editor

Selasa, 10 Juni 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

“Jangan Tuan terlalu percaya pada pendidikan sekolah. Seorang guru yang baik masih bisa melahirkan bandit-bandit yang sejahat-jahatnya, yang sama sekali tidak mengenal prinsip. Apalagi kalau guru itu sudah bandit pula pada dasarnya.” (Pramoedya Ananta Toer)

Pramoedya.id: Juni 2025 belum sepekan, Gubernur Rahmat Mirzani Djausal dan Kadisdikbud Lampung Thomas Amirico “woro-woro” bahwa kebijakan uang komite di 352 SMA, SMK, dan SLB negeri se-Provinsi Lampung dihapuskan.

Pembiayaan sekolah kini dijanjikan akan sepenuhnya ditanggung APBD. Tidak boleh lagi ada pungutan wajib, tidak boleh lagi ada sumbangan yang berkedok sukarela. Kabarnya sekitar 203 ribu siswa bakal merasakan dampaknya.

Sebuah langkah maju? Tentu. Tapi jangan buru-buru tepuk tangan. Karena di balik penghapusan ini, tersimpan sejarah panjang pemalakan berjamaah yang dilegalkan negara.

Bertahun-tahun lamanya, kebijakan pendidikan di Lampung justru menormalisasi pemerasan atas nama partisipasi. Uang komite yang semestinya sukarela, berubah jadi kewajiban yang menyandera masa depan anak-anak rakyat kecil.

Dan kita tidak boleh lupa begitu saja.

 

Warisan Busuk dari Sistem yang Mengakar

Uang komite awalnya lahir sebagai solusi. Dana BOS dan APBD sering kali tak cukup untuk menutupi kebutuhan operasional sekolah. Maka orang tua “diminta berpartisipasi” melalui iuran komite. Dalihnya sukarela, hasil mufakat, demi kepentingan bersama.

Tapi di lapangan, praktiknya jauh dari ideal. Yang disebut “kesepakatan” seringkali hanya formalitas. Orangtua diminta tanda tangan tanpa tahu hak dan alternatifnya. Yang menolak membayar? Siap-siap anaknya dikucilkan, bahkan ijazahnya ditahan.

Padahal, Permendikbud 75/2016 sudah jelas: pungutan hanya boleh dilakukan oleh komite, bukan sekolah, dan tidak boleh jadi kewajiban. Namun aturan ini mandul di hadapan Pergub 61/2020 yang diterbitkan di era Gubernur Arinal Djunaidi. Pergub ini malah menjadi payung hukum bagi sekolah untuk menarik pungutan dengan dalih legalitas.

Dan di sinilah wajah negara terlihat: memfasilitasi ketidakadilan atas nama ketertiban administratif.

 

Sirkus Ala-ala Sulpakar

Kalau bicara soal Dinas Pendidikan, nama Sulpakar yang kini menduduki jabatan Asisten Administrasi Umum Sekretariat Daerah Provinsi Lampung tidak bisa di-skip, bahkan perlu distabilo tebal-tebal.

Tentu penulis perlu mempertanyakan tugas, wewenang, dan peran kala ia menjabat sebagai Kadisdik Provinsi Lampung. Sebab, praktik penahanan ijazah dan kebijakan uang komite terjadi di bawah pengawasannya selama bertahun-tahun.

Lucunya, menjelang lengser dari jabatan, ia mendadak bersuara lantang: “Jangan tahan ijazah!” Seolah lupa bahwa ia punya andil besar dalam membiarkan sistem ini berjalan. Macam lempar batu sembunyi tangan.

 

Korban dan Narasi Gratis

Banyak siswa jadi korban. Anak-anak yang lulus SMA tapi tak bisa lanjut kerja karena ijazahnya disandera. Tak sedikit Orangtua berutang demi menebus dokumen legal pendidikan anaknya. Semua ini terjadi di sekolah negeri, yang katanya gratis, yang katanya milik rakyat.

Tapi siapa yang bersuara? Hampir tak ada. Aparat diam, ombudsman lambat, media lokal pun tak selalu peduli. Seolah-olah semua ini adalah harga wajar yang harus dibayar rakyat miskin untuk bisa sekolah.

 

Minta Maaf Dulu, Baru Bicara Perbaikan

Penghapusan uang komite patut diapresiasi, tapi tidak cukup. Pemerintah harus minta maaf secara terbuka kepada mereka yang pernah jadi korban. Mereka yang gagal kerja, gagal kuliah, gagal melanjutkan hidup karena ijazahnya ditahan, layak mendapatkan pengakuan dan ganti rugi moral.

Langkah ke depan memang penting. Tapi manusia punya ingatan. Kalau tidak ada pertanggungjawaban, penghapusan ini cuma akan jadi rebranding, bukan perubahan sejati.

 

Jangan Lagi Kejahatan Dinormalisasi

Lampung harus belajar dari masa lalunya. Jangan lagi pendidikan dibungkus jargon “partisipasi”, tapi isinya pemaksaan. Jangan lagi orangtua dianggap beban hanya karena mereka miskin. Dan yang paling penting, jangan biarkan kejahatan struktural jadi tradisi.(*)

 

 

Berita Terkait

Koperasi Merah Putih: Saat Koperasi Tak Lagi Milik Rakyat?
Desa Wisata Lampung di Persimpangan Potensi dan Tantangan
Cara Ikhlas Menjadi Miskin: Panduan Spiritual untuk Rakyat Biasa
Jejak Dalang di Tambang Ilegal Perbukitan Sukabumi
Eva Dwiana dan Politik Kambing Hitam di Tengah Genangan
Buying Time: Wacana Kontras Pemprov Lampung
Hari Buruh dan Kenyataan Pahit Dunia Kerja
Korban Nyata dan Tindakan Klise Pelindo

Berita Terkait

Selasa, 10 Juni 2025 - 12:59 WIB

Uang Komite Sudah Dihapus, Tapi Dosa Lama Jangan Dikubur

Selasa, 10 Juni 2025 - 05:23 WIB

Koperasi Merah Putih: Saat Koperasi Tak Lagi Milik Rakyat?

Senin, 2 Juni 2025 - 17:19 WIB

Desa Wisata Lampung di Persimpangan Potensi dan Tantangan

Minggu, 1 Juni 2025 - 19:43 WIB

Cara Ikhlas Menjadi Miskin: Panduan Spiritual untuk Rakyat Biasa

Minggu, 18 Mei 2025 - 20:50 WIB

Jejak Dalang di Tambang Ilegal Perbukitan Sukabumi

Berita Terbaru

Politik dan Pemerintahan

Edi Irawan Hibahkan Kantor Demokrat Lampung ke DPP

Minggu, 15 Jun 2025 - 17:19 WIB

LBH Dharma Loka Nusantara Desak Pemda Buat Perda Turunan UU TPKS

Hukum dan Kriminal

LBH Dharma Loka Nusantara Desak Pemda Buat Perda Turunan UU TPKS

Minggu, 15 Jun 2025 - 17:05 WIB