Pramoedya.id: Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Jasa Lampung Selatan berpotensi rugikan negara miliaran rupiah. Sebab, ribuan pelanggan di Perumahan Permata Asri, Desa Karang Anyar, Kecamatan Jati Agung, Lampung Selatan, selama belasan tahun diduga tak masuk ke khas daerah.
Berdasarkan penelusuran, realitas di lapangan selama bertahun-tahun cukup memprihatinkan. Hal tersebut didasari atas keluhan besar warga yang menyebut bahwa air Tirta Jasa mengalir 2 hari sekali, itupun terhitung hanya 1 jam.
Sejak awal pemasangan sambungan air sekitar tahun 2009, warga dikenai biaya hingga Rp1,5 juta per rumah. Namun pembayaran tersebut dilakukan langsung ke kantor unit tanpa menggunakan sistem resmi berbasis ID pelanggan.
Setiap bulan, warga membayar iuran Rp54.000, namun pembayaran itu pun dilakukan secara manual. Warga hanya menerima kwitansi sebagai bukti, tanpa adanya kejelasan sistem akuntansi yang sah.
“Pembayaran kami dari dulu tidak pakai ID pelanggan. Hanya setor ke petugas di kantor unit. Tapi airnya nyaris tak pernah layak,” ujar salah satu warga yang enggan disebutkan namanya, Selasa (24/6/2025).
Ketika tim mencoba membayar tagihan menggunakan ID pelanggan yang tercantum dalam kwitansi, nama pelanggan yang muncul justru berbeda dengan pemilik rumah. Hal ini memperkuat dugaan manipulasi data pelanggan serta pelanggaran administratif serius yang berpotensi menyebabkan kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Potensi kebocoran PAD akibat praktik ini bisa mencapai lebih dari Rp20 miliar, jika diakumulasi sejak 2009.
Karena kondisi ini, warga terpaksa berebut air, menggunakan pompa tambahan untuk menarik air dari jaringan, sementara sebagian lainnya mengandalkan sumur bor hingga kedalaman 100 meter yang tetap tak mencukupi kebutuhan.
Dalam kondisi terdesak, tak sedikit warga harus membeli air galon seharga Rp3.000 atau Rp60.000 per 1.000 liter, dimana pengeluaran ini terus menekan ekonomi keluarga.
Situasi bertambah pelik ketika pihak PDAM menawarkan skema distribusi baru berupa pemasangan pipa paralon dengan biaya awal Rp3 juta, ditambah iuran bulanan sebesar Rp80.000.
Kepala Unit PDAM setempat, Sutarno, membenarkan keberadaan skema ini dan menyebutnya sebagai “solusi percepatan distribusi air bersih.” Namun, bagi warga, ini semakin memperkuat dugaan bahwa akses air bersih kini menjadi barang dagangan.
“Kenapa kami harus membayar dua kali untuk sesuatu yang seharusnya sudah menjadi hak dasar kami? Ini tidak adil,” tegas seorang warga lainnya.
Warga mendesak Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan dan aparat penegak hukum untuk segera turun tangan. Mereka menuntut investigasi menyeluruh terhadap dugaan pungutan liar, maladministrasi, dan potensi korupsi PAD yang diduga berlangsung tanpa pengawasan berarti selama bertahun-tahun.
Fenomena ini menjadi cermin buram lemahnya tata kelola pelayanan publik di daerah. Ketika air bersih, kebutuhan paling dasar menjadi komoditas mahal yang penuh celah penyimpangan, maka sudah waktunya dilakukan evaluasi total dan penegakan hukum yang nyata.
“Kami bukan minta yang muluk-muluk. Kami hanya ingin air bersih, yang seharusnya menjadi hak kami sebagai warga,” tutup warga penuh harap. (TIM)