Pramoedya.id: Ucapan selamat mengalir deras untuk Rahmat Mirzani Djausal (RMD) dan Jihan Nurlela. Dari kolega, politisi, hingga para pendukung setianya.
Baik di media sosial, grup percakapan WhatsApp, maupun pertemuan formal dan informal, momen bersejarah besok dibicarakan di mana-mana.
Senyum mungkin tak pernah lepas dari wajah Gubernur Lampung terpilih (RMD) dan Jihan Nurlela, Wakil Gubernur Lampung. Mereka berdiri bersama di ambang babak baru dalam hidup mereka.
Tapi, seiring dengan gelar baru yang tersemat, apakah benar rasa ringan yang mereka rasakan, atau justru beban mulai menekan pundak mereka semakin berat seiring bertambahnya ucapan selamat?
Besok mereka akan resmi dilantik. Lencana gubernur dan wakil gubernur akan tersemat di dada.
Mereka akan berdiri tegak di Istana Negara, bersalaman dengan Presiden Prabowo Subianto. Mungkin ada kebanggaan yang membuncah, kebahagiaan yang sulit disembunyikan. Tapi setelah seremoni itu usai, tanggung jawab besar menanti di tanah kelahiran mereka.
Lampung tidak hanya membutuhkan pemimpin yang hadir dalam seremoni, tetapi mereka yang benar-benar bekerja. Jalan-jalan provinsi yang rusak menunggu perbaikan.
Rakyat yang bertahun-tahun mengeluhkan infrastruktur menanti tindakan nyata. Angka kemiskinan yang masih tinggi menunggu kebijakan konkret. Harapan yang sempat pudar kini bertumpu pada mereka.
Setiap langkah yang mereka ambil akan diawasi. Setiap kebijakan yang mereka putuskan akan dinilai. Kegagalan bukan lagi sekadar risiko pribadi, tetapi bisa menjadi kekecewaan massal yang berujung pada ketidakpercayaan.
Memimpin adalah menderita. “Leiden is lijden,” kata pepatah Belanda yang dipopulerkan Haji Agus Salim. Seorang pemimpin sejati bukanlah mereka yang menikmati fasilitas dan kehormatan, tetapi mereka yang bersedia menanggung beban rakyatnya.
Mirza dan Jihan kini berdiri di persimpangan sejarahnya sendiri. Ia bisa memilih menjadi gubernur yang hanya menjalankan protokol atau pemimpin yang benar-benar hadir merasakan penderitaan rakyat.
Hari ini, banyak yang bersorak menyambut kemenangan. Tapi dalam beberapa bulan ke depan, suara-suara itu bisa berubah menjadi tuntutan.
Setiap janji kampanye akan dipertanyakan. Setiap kesalahan, sekecil apa pun, akan menjadi sorotan. Politik adalah dunia yang keras, dan kepemimpinan bukanlah panggung yang hanya diisi tepuk tangan.
Maka, selamat menderita, Iyai Mirza dan Mbak Jihan. Selamat memikul beban yang tak ringan.
Selamat menghadapi realitas yang tak selalu seindah seremoni pelantikan. Jika benar ingin dikenang sebagai pemimpin, penderitaan ini harus diterima. Sebab hanya mereka yang bertahan dalam derita, yang akhirnya mampu membawa perubahan nyata. (*)