Pramoedya.id: Isu “Indonesia gelap” pernah ramai dibicarakan. Viral pula sosok Aw Bimax yang berani mengkritik buruknya jalan di provinsi ini, sampai melabeli Lampung sebagai daerah yang “alergi inovasi” dan bikin banyak anak mudanya memilih merantau. Kritik pedas itu menampar, sekaligus membuka ruang diskusi dibenak Gwaa kala itu: Benarkah Lampung itu gelap dan benarkan masyarakat Lampung tidak sebangga “itu” dengan daerahnya.
Siapa nyana pertanyaan yang pernah mengantui benak Gwaa, dijawab langsung melalui obrolan tak direncanakan bersama Rahmat Mirzani Djausal (RMD), gubernur muda yang belum genap setahun menjabat di Provinsi Sai Bumi Ruwa Jurai ini. Alih-alih defensif, ia memilih menjadikan kritik itu bahan bakar. Gubernur muda itu sedang membawa arah Lampung Pride, sebuah ajakan agar orang Lampung bangga lahir, besar, dan berkarya di tanah sendiri.
“Jadi orang Lampung harus bangga dengan Lampung,” katanya dalam sebuah obrolan singkat, tak lebih dari 3 menit dan tanpa disengaja, tapi dengan semangat yang jelas terasa.
Semangat itu ia wujudkan dengan fokus memperbaiki infrastruktur jalan. Baginya, infrastruktur bukan sekadar aspal mulus. Jalan yang baik akan membuat hasil tani lebih mudah dijual, wisatawan lebih lancar datang, dan pada akhirnya ekonomi rakyat bergerak. Tak heran ia memasang target berani bahwa tahun 2028, 90 persen jalan Lampung harus mantap, bahkan sebagian dirigidkan.
Soal dana, ia realistis. Keuangan daerah memang “engap-engapan”, tapi gubernur muda ini memilih lincah. Ia bakal memaksimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan membuka jalur komunikasi ke pusat, mencari skema pendanaan, bahkan merangkul gotong royong masyarakat. Contohnya, perbaikan jembatan kecil yang awalnya ia dengar dari media sosial, langsung ia respon dengan aksi bersama warga.
Menariknya, visi ambisius ini tampaknya tidak diemban sendirian. Meskipun Gwaa belum mendapatkan momen ngbrol langsung dengan mbak Wagub. Namun harmonisasi dengan Wakil Gubernur, Jihan Nurlela, terasa kental dalam bingkai “Lampung Maju.” Sinergi mereka, tergambar melalui selera musik. Gubernur dengan nuansa klasik seperti Kla Project, sementara Wakil Gubernur menyentuh segmen koplo Jawa, mencerminkan mereka sedang berbagi tugas menyelaraskan langkah dengan berbagai lapisan masyarakat demi mencapai tujuan bersama.
Sikap kepemimpinan RMD juga menunjukkan gaya yang berbeda dan antitesis dari ‘tebar pesona’. Ia menggambarkan bahwa dirinya “noting tulus” dan tidak fokus pada popularitas diri. Filosofinya sederhana “yang penting gue kerja.” Ia ingin masyarakat merasakan langsung hasil kerja Pemprov dan bangga pada Lampung, bukan pada dirinya. Pendekatan ini bahkan membuat sebagian masyarakat merasa “baru kali ini merasakan memiliki Gubernur,” karena ia memilih bekerja dalam senyap, membiarkan karya berbicara.
Mirzani juga juga mengaku tak alergi kritik. Ribuan mahasiswa yang turun ke jalan, ia temui langsung. Ia dengarkan satu per satu keluhan, bahkan membawa aspirasi mereka ke pemerintah pusat. Situasi yang di tempat lain rawan panas, di Lampung bisa berlangsung tenang. Ia sebut sebagai bukti budaya dialog di daerahnya masih hidup.
Soal kebebasan pers pun ia sangat terbuka. Menurutnya tiap profesi memiliki peran dalam mewujudkan visi yang ia emban berupa Lampung Maju. Bahkan radar masalahah Lampung tak jarang ia dapati dari media pers sebagai penyambung lidah rakyatnya.
Tak hanya jalan, ia kini mengarahkan fokus ke pertanian. Mimpinya berupa Lampung bisa swasembada pangan, bahkan jadi percontohan nasional. Jika tercapai, bukan cuma ketahanan pangan yang kuat, tapi juga lapangan kerja terbuka luas. Dari sawah hingga jalan tol, dari petani hingga mahasiswa, semua ia rangkai secara perlahan dalam satu visi.
“Lampung Pride, bro. Petani Lampung harus bangga, masyarakat Lampung harus bangga. Semua harus bangga dengan Lampung,” katanya menutup percakapan. (*)