“Qulil haqqa walau kana murran.”
Katakanlah yang benar meskipun pahit.
Tapi bagaimana jika yang pahit itu adalah wajah pendidikan kita sendiri? Ya, sebuah kenyataan getir yang datang dari hal paling fundamental dalam kehidupan siapapun di dunia ini.
Pramoedya.id: Di Lampung, ribuan siswa mengikuti Tes Kemampuan Akademik (TKA) jalur prestasi untuk masuk SMA negeri pada 14 Juni 2025 lalu. Dari 3.863 peserta, hanya segelintir yang mampu menjawab soal dengan baik.
Yang mendapat nilai di atas 70? Tak sampai 1 persen.
Nilai 60 hingga 70? Hanya 1,8 persen.
Mayoritas? Terbenam di bawah angka 50. Bahkan, berdasarkan data dari Disdikbud Lampung, ada beberapa siswa yang memperoleh nilai nol.
Yang membuat fakta ini lebih pahit dari sekadar angka-angka, ialah sebuah kenyataan, bahwa banyak dari siswa tersebut memiliki nilai rapor di atas 90.
Angka dan Dusta
Di atas kertas, mereka tampak cemerlang. Tapi ketika diuji secara objektif, daya pikir mereka tumbang. Inilah kebenaran pahit itu, namun tetap harus dikatakan. Sebab jika tidak, kita hanya akan terus hidup dalam ilusi pendidikan.
Barangkali sudah jadi rahasia umum, kedekatan, belas kasihan, atau kepentingan pribadi kerap mewarnai ponten di sekolah. Guru memberi nilai bukan lagi karena kompetensi murid, melainkan karena kasihan, ingin menyenangkan orangtua, atau bahkan demi menghindari konflik. Bisa juga karena terjebak dalam sistem yang lebih menghargai angka daripada pemahaman.
Thomas Amirico, yang belum genap satu semester menjabat sebagai Kepala Disdikbud Lampung, memberi peringatan yang menyentuh akar persoalan:
“Jangan sampai kedekatan emosional dengan anak atau orangtua bisa memanipulasi hasil nilai rapor.”
Namun bagaimana jika manipulasi itu bukan lagi penyimpangan, melainkan sudah menjadi sesuatu yang sistemik, diterima, dan dimaklumi sebagai kewajaran?

Rapor Merah
Belakangan, sekolah bisa membuat anak-anak lulus dengan nilai sempurna, namun tanpa daya pikir. Padahal di luar sana, dunia tidak peduli angka. Ia menuntut nalar, daya tahan, dan kecakapan hidup.
Jika TKA menjadi cermin, maka yang terpantul bukan hanya siswa. Tapi juga pemerintah, guru, orangtua, bahkan saya yang menulis ini, kita semua tampak buruk di dalamnya.
Siswa, guru, orangtua, sekolah, dan sistem: seluruhnya adalah aktor dalam drama besar bernama “nilai prestasi.” Ironisnya, yang dilakukan justru lebih mirip menyembunyikan kegagalan dengan angka-angka semu.
Sebuah Tuntutan Moral
Pendidikan tidak pernah netral. Ia selalu berada di antara kejujuran dan kepalsuan.
Dan di titik ini, kita harus memilih. Apakah kita masih ingin mempertahankan rapor indah demi kenyamanan semu? Atau sudah saatnya bicara jujur tentang rendahnya kualitas akademik, meski menyakitkan?
“Qulil haqqa walau kana murran.”
Katakanlah yang benar meskipun itu pahit.
Itu bukan sekadar petuah agama. Tapi landasan moral untuk membangun pendidikan yang lebih sehat.
Karena pada akhirnya, pendidikan bukan soal membuat semua anak tampak berhasil. Tapi menyiapkan mereka menghadapi kenyataan. Dan kenyataan, jelas, tak bisa dimanipulasi dengan angka.(*)