“Yang kau tangkap itu bayangan, bukan aku.”
Kalimat itu barangkali cukup mengejutkan setelah akun baru bernama @bjorkanism muncul lagi di media sosial. Dengan nada mengejek, akun itu menulis: “You think it’s me? Everyone uses my name, but I’m still free.”
Pramoedya.id: Pertanyaan besar muncul di tengah publik: kalau Bjorka masih bebas, lalu siapa yang sedang dijebloskan ke tahanan?
Negara kita tentu ingin terlihat berwibawa. Setelah berbulan-bulan dihantui oleh sosok tak kasat mata bernama Bjorka, akhirnya polisi mengumumkan keberhasilan. Ya, seorang pemuda berinisial WFT ditetapkan sebagai tersangka. Tapi belum genap dua hari, dunia maya berubah arah. Bjorka muncul lagi, menertawakan, dan netizen pun ramai-ramai menilai: “Kayaknya salah tangkap, deh.”
Kolom komentar penuh sesak dengan komentar warganet atas fenomena ini.
“Yang ditangkap cuma anak warnet.”
“Polisi kejar bayangan, Bjorka-nya malah update story.”
“Negara kalah cepat sama meme.”
Lucu memang, tapi juga menyedihkan. Di tengah gempuran data bocor dan ancaman keamanan digital, aparat justru sibuk main tebak-tebakan tentang siapa yang ada di balik layar, bukan membenahi sistem yang jebol.
The Legend of Bjorka
Kita mungkin lupa kapan nama Bjorka pertama kali mengguncang negeri ini. Sekitar 2022, dunia maya Indonesia mendadak panik. Seorang pengguna anonim di forum BreachForums dan Telegram mengaku berhasil membobol berbagai basis data milik lembaga negara: dari Kominfo, Polri, BPJS Kesehatan, sampai Pemilu 2024.
Bjorka menarik banyak perhatian publik. Dalam salah satu unggahannya, Bjorka menulis dengan gaya sarkastik:
“I just want to teach your government a lesson.”
Selain jago meretas, Bjorka paham cara memancing atensi publik. Dalam tiap kebocoran, ada sindiran, ada pesan. Kadang ia menyinggung pejabat, kadang membocorkan surat rahasia, dan kadang hanya menertawakan kegagapan negara.
Di Twitter (sebelum berganti nama jadi X), setiap postingannya jadi ritual nasional: “Hari ini Bjorka bocorin apa lagi?”
Pemerintah kerap kelimpungan. Akun-akun resmi diserang balik oleh warganet. Kominfo yang mestinya menjaga data malah jadi bahan lelucon: kementerian yang setiap kali bicara keamanan digital, justru kebocoran datanya paling besar.
Nama Bjorka perlahan jadi ikon ketakutan pemerintah dan bahan candaan publik sekaligus. Bjorka adalah sosok tanpa wajah, dengan suara yang menggema di dunia Maya.
Salah Tangkap di Dunia Tanpa Alamat
Dan kini, setelah bertahun-tahun jadi teka-teki, polisi akhirnya mengumumkan: Bjorka sudah tertangkap. Tersangkanya seorang pemuda 22 tahun berinisial WFT.
Tapi dunia digital bukan dunia yang bisa dipagari garis polisi. Tak butuh waktu lama, akun baru muncul: “Bjorka masih bebas.”
Warganet pun bersorak. Di timeline, kata “salah tangkap” jadi mantra kolektif.
“Bjorka kayak tuyul, bisa muncul di mana aja.”
“Negara masih berpikir semua masalah bisa selesai dengan jumpa pers.”
Lucunya, aparat terlihat benar-benar percaya bahwa dunia siber bisa diselesaikan dengan pola penangkapan konvensional. Padahal, dalam logika internet, identitas itu cair. Satu nama bisa dipakai seratus orang. Siapa pun bisa jadi Bjorka, asalkan tahu cara menertawakan sistem.
Di satu sisi, negara ingin menguasai informasi. Di sisi lain, Bjorka justru membuka mata publik bahwa kita hidup dalam sistem yang bocor dari dalam. Setiap data, setiap NIK, setiap rekam medis, bisa jadi komoditas. Tapi alih-alih memperkuat perlindungan data, negara justru sibuk mencari siapa yang menghina pejabat di forum daring.
Bjorka, sadar atau tidak, sedang mengajari kita sesuatu, bahwa kekuasaan paling rapuh adalah yang tak bisa menerima keterbukaan. Bjorka membocorkan karena tahu satu kebenaran: data adalah kekuasaan baru, dan negara bukan lagi satu-satunya pemiliknya.
Kalau Bjorka bisa muncul lagi hanya dengan satu postingan, mungkin yang ditangkap itu adalah rasa ingin tahu masyarakat yang perlahan dikurung atas nama keamanan.
Dan kalau benar yang ditangkap hanyalah penggemarnya, maka negara baru saja memperlihatkan betapa lemahnya ia membaca zaman.
Dalam kejadian ini, ada satu pelajaran yang cukup penting. Negara bisa menangkap tubuh, tapi tidak bisa menangkap wacana.
Bjorka, entah siapa pun dia, telah membuktikan satu hal: di era digital, kebenaran bukan lagi soal siapa yang berbicara, tapi siapa yang berani menertawakan kedunguan.(*)







