Ada jenis kemiskinan yang tidak bisa ditolong dengan anggaran: ‘kemiskinan nalar’. Itulah yang tampaknya menjangkiti anggota DPR bernama Endipat Wijaya. Bisa-bisanya ia menyindir donasi Rp 10 miliar untuk korban bencana di Sumatra.
Pramoedya.id: Di tengah rumah-rumah terendam, lumpur setinggi dada orang dewasa, dan tangan-tangan warga yang sibuk menyelamatkan apa pun yang bisa diselamatkan, seorang anggota DPR justru sibuk menghitung gengsi nominal.
Namanya Endipat Wijaya, anggota DPR RI dari Fraksi Gerindra. Dalam rapat bersama Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), ia menyindir penggalangan donasi publik untuk korban bencana di Sumatra yang nilainya sekitar Rp 10 miliar. Donasi itu ia sebut secara meremehkan sebagai “cuma Rp 10 miliar”, sambil membandingkannya dengan klaim bahwa negara sudah mengucurkan dana “triliunan rupiah” untuk penanganan bencana.
Kalimat yang mencerminkan cara berpikir pejabat serta kesalahan memahami fungsi negara dan arti solidaritas warga.
Mari kita luruskan.
Negara memang wajib memberi bantuan saat bencana. Sebab, Itu kewajiban konstitusional. Pajak dipungut dari rakyat salah satu fungsinya islah memastikan ketika musibah datang, negara hadir, cepat, dan tepat.
Jadi, ketika negara menyalurkan bantuan, tidak dapat dicap sebagai pencapaian. Itu memang pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Sebaliknya, donasi masyarakat adalah sesuatu yang sama sekali berbeda. Bukan kewajiban hukum, melainkan dorongan moral. Orang menyumbang bukan karena diperintah, tapi karena nuraninya terusik. Karena mereka tahu, di tempat lain, ada sesama manusia yang malamnya tidur di atas puing.
Yang aneh: di kepala Endipat Wijaya, dua hal ini justru dibandingkan seolah sedang berlomba: mana yang lebih besar, mana yang lebih layak dipuji, mana yang lebih “viral”.
Bahkan, dalam rapat itu, Endipat mendorong Komdigi agar lebih agresif mengamplifikasi peran pemerintah supaya tidak kalah gaung dari donasi masyarakat. Fokusnya bukan pada efektivitas bantuan, tapi pada perang citra. Ini mentalitas yang berbahaya.
Donasi publik bukan ancaman bagi negara. Donasi publik bukan saingan APBN. Donasi publik adalah alarm sosial. Hal yang muncul karena ada kecemasan: apakah negara cukup cepat? cukup sigap? cukup jujur?
Ironisnya, alih-alih mendengar alarm itu, seorang wakil rakyat malah mematikannya dengan sindiran.
“Cuma Rp 10 miliar.”
Seolah angka itu kecil bagi korban yang kehilangan rumah. Seolah itu remeh bagi anak yang harus tidur di pengungsian tanpa selimut. Seolah empati bisa ditimbang seperti proposal proyek.
Padahal, tidak ada yang lebih menyedihkan daripada negara yang ingin dipuja saat menjalankan kewajiban. Mental feodal yang masih ada di abad modern.
Masyarakat yang berdonasi sedang melakukan sesuatu yang tidak bisa dibeli lewat APBN. Dan ketika pejabat menyindirnya, yang terlihat bukan superioritas negara, tapi kemiskinan empati.
Yang perlu dikoreksi bukan rakyat yang menyumbang. Bukan relawan yang turun ke lapangan. Bukan solidaritas yang tumbuh organik. Yang perlu dikoreksi adalah cara berpikir pejabat yang lupa: negara ada untuk rakyat, bukan sebaliknya. Dan kemanusiaan tidak pernah pantas diberi label “cuma”.(*)







