“Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang dapat digunakan untuk mengubah dunia.”
Pramoedya.id: Kutipan dari Nelson Mandela tersebut menegaskan bahwa pendidikan bukan sekadar hak, tetapi juga investasi bagi masa depan suatu bangsa.
Omon-omon mengenai dunia pendidikan, aspek satu ini tengah menjadi sorotan berbagai pihak, mulai dari aktivis, jurnalis, hingga influencer. Bagaimana tidak, gara-gara program Makan Bergizi Gratis (MBG), anggaran pendidikan terpaksa dikurangi demi mendanai program unggulan Presiden Prabowo saat kampanye terdahulu.
Kita ketahui bersama, Program MBG bertujuan meningkatkan gizi anak-anak dan ibu hamil di Indonesia. Namun, implementasi program ini berdampak besar terhadap alokasi anggaran negara, khususnya di sektor pendidikan.
Pada awalnya, program MBG direncanakan dengan anggaran sebesar Rp71 triliun untuk menjangkau sekitar 19,47 juta penerima manfaat, termasuk anak sekolah dan ibu hamil atau menyusui. Namun, seiring dengan perluasan cakupan program, kebutuhan anggaran membengkak hingga Rp171 triliun pada tahun pertama pelaksanaannya.
Untuk memenuhi kebutuhan dana ini, pemerintah melakukan pemotongan anggaran di berbagai kementerian dan lembaga, termasuk sektor pendidikan. Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) misalnya, institusi yang bertanggung jawab atas masa depan bangsa, diminta memangkas anggaran sebanyak 25 persen dari total pagu Tahun Anggaran 2025 senilai Rp56,6 triliun, atau setara dengan Rp14,3 triliun.
Pemotongan ini berdampak langsung pada berbagai program penting, seperti tunjangan dosen non-PNS yang awalnya dianggarkan Rp2,7 triliun, namun terkena efisiensi sebesar Rp676 miliar. Selain itu, program Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah yang semula memiliki pagu Rp14,698 triliun, juga mengalami pemotongan sebesar Rp1,319 triliun.
Pemangkasan anggaran ini menimbulkan kekhawatiran akan kenaikan biaya kuliah serta semakin terabaikannya nasib guru honorer. Hal ini tercermin dalam berbagai unggahan di media sosial, yang banyak menyuarakan keprihatinan dengan nada “Indonesia Darurat”.
Dengan berkurangnya dana untuk tunjangan dan beasiswa, akses dan kualitas pendidikan dapat terancam. Hal ini berisiko menghambat peningkatan kualitas sumber daya manusia di Indonesia dalam jangka panjang.
Oleh karena itu, meskipun program MBG memiliki tujuan yang mulia, penting bagi pemerintah untuk menyeimbangkan alokasi anggaran agar sektor pendidikan tidak terabaikan. Efisiensi dan transparansi dalam pengelolaan anggaran menjadi kunci untuk memastikan berbagai program prioritas dapat berjalan beriringan tanpa saling mengorbankan.
Mungkinkah ada solusi lain yang memungkinkan kedua kepentingan ini berjalan tanpa mengorbankan pendidikan? Jawabannya ada pada keputusan kebijakan yang akan diambil ke depan.(*)