Pramoedya.id: Pernah dengar pepatah “hidup segan, mati tak mau”? Nah, itu kira-kira kondisi petani singkong di Lampung sekarang. Harga anjlok, pabrik tutup, dan mereka dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama nggak enak: jual hasil panen dengan harga miris atau biarkan membusuk begitu saja.
Masalah ini mencuat sejak pemerintah pusat menetapkan harga dasar Rp1.350 per kilogram. Alih-alih bikin petani lega, kebijakan ini malah bikin beberapa pabrik gulung tikar. Logika pabrik, harga segitu bikin tekor.
Dampaknya langsung terasa. Di Lampung Utara, misalnya, beberapa pabrik yang biasanya nyerap singkong petani buka-tutup. Petani yang selama ini bergantung ke pabrik-pabrik itu pun kelimpungan. Mau jual ke mana? Siapa yang mau nampung? Sementara itu, ongkos produksi jalan terus, utang pupuk tetap harus dibayar.
Padahal, kalau lihat angka, Lampung ini juara nasional dalam produksi singkong. Tahun 2020, hasil panennya 5,8 juta ton. Tahun 2021 naik sedikit jadi 5,9 juta ton, lalu meningkat lagi jadi 6,7 juta ton pada 2022. Tahun 2023 naik jadi 7,1 juta ton, dan kalau tren ini berlanjut, 2024 bisa tembus 7,5 juta ton. Mestinya ini kabar baik. Tapi apa gunanya produksi melimpah kalau distribusinya berantakan dan petani cuma bergantung pada pabrik?
Sekarang saatnya gubernur dan wakilnya yang masih anget dilantik, Rahmat Mirzani Djausal dan Jihan Nurlela, turun tangan. Kalau pabrik besar merasa keberatan dengan harga yang ditetapkan, harus ada solusi alternatif. Masa iya Lampung yang sebesar ini nggak bisa mikir jalan keluar?
Salah satu opsi yang bisa dicoba: libatkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan koperasi. Itu sih saran gwaa.
Jadi, kedua instrumen tersebut bisa didorong menjadi bagian dari rantai distribusi. BUMDes bisa jadi pengepul di tingkat desa. Dengan begitu, petani nggak harus berhadapan langsung dengan tengkulak yang suka kasih harga seenaknya. Bahkan, kalau serius, BUMDes juga bisa mulai bikin industri kecil seperti tepung mocaf, chips singkong, beras analog, atau pakan ternak, biar nilai jualnya naik, nggak cuma mentok jadi bahan baku murah.
Koperasi juga bisa ikut main. Selama ini, petani terlalu bergantung pada pabrik tapioka besar. Padahal, di luar sana banyak industri lain yang butuh singkong, dari usaha kecil sampai pasar ekspor. Kalau koperasi bisa jadi jembatan, petani nggak harus terus-terusan pasrah sama kebijakan pabrik. Ini juga sejalan dengan visi Presiden Prabowo Subianto soal swasembada pangan. Kalau pengolahan singkong bisa jalan dari desa, impor produk berbasis singkong bisa ditekan. Dan Lampung, sebagai produsien terbesar, harusnya bisa jadi role model daerah swasembada pangan.
Itu sih cuma saran gwaa. Tapi tenang, pasti ada yang lebih tahu solusinya. Lagian, nggak mungkin kan petani disuruh puasa lebih lama sampai Lebaran berikutnya? (*)