Ketika banjir datang, respon pemerintah kota sering terlambat. Warga mengeluhkan lambatnya bantuan dan kurangnya perhatian dari wali kota. Dalam beberapa kejadian, Eva baru muncul di lokasi beberapa hari setelah banjir melanda.
Bantuan yang diberikan pun cenderung sementara, seperti pembagian nasi bungkus, tanpa ada solusi jangka panjang yang konkret untuk mencegah banjir berulang.
Pramoedya.id: Setiap kali hujan deras turun di Bandar Lampung, warga tidak lagi bertanya “apakah akan banjir, mereka hanya bertanya “seberapa parah kali ini?”
Di tengah penderitaan warganya, Wali Kota Eva Dwiana justru sibuk mencari kambing hitam. Mulai dari menyalahkan perusahaan, warga, sampai Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) Lampung, semuanya dituding, kecuali dirinya sendiri.
Pertanyaan sekarang, sampai kapan pemimpin kota ini sibuk mencari kambing hitam, dan mengapa ia begitu? Mari kita ulas.
15 Tahun Kepemimpinan, Banjir Tetap Datang
Eva Dwiana bukan wajah baru di pemerintahan Bandar Lampung. Sebelum menjabat wali kota sejak 2021, suaminya, Herman HN, sudah memimpin kota ini selama dua periode. Artinya, dalam 15 tahun terakhir, kepemimpinan kota ini berada di satu keluarga.
Namun, selama rentang waktu itu, banjir tetap datang setiap tahun, meninggalkan kerusakan dan kerugian. Tahun ini bahkan tercatat sebagai banjir terparah di Bandar Lampung.
Hijau Kurang, Air Tumpah
Salah satu penyebab utama banjir adalah minimnya ruang terbuka hijau (RTH). Sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, setiap kota wajib memiliki RTH minimal 30% dari luas wilayahnya. Nyatanya, Bandar Lampung baru memiliki sekitar 5% RTH.
Di samping itu, sistem drainase yang buruk dan tidak terawat memperparah keadaan. Banyak saluran air tersumbat sampah, bahkan ada yang tertutup oleh pembangunan.
Respons Pemerintah yang Terlambat dan Tidak Efektif
Ketika banjir datang, respons pemerintah kota sering terlambat. Warga mengeluhkan lambatnya bantuan dan kurangnya perhatian dari wali kota. Dalam beberapa kejadian, Eva baru muncul di lokasi beberapa hari setelah banjir melanda.
Bantuan yang diberikan pun cenderung sementara, seperti pembagian nasi bungkus, tanpa ada solusi jangka panjang yang konkret untuk mencegah banjir berulang.
Blame-Shifting dan Actor-Observer Bias
Dalam psikologi sosial, fenomena ini dikenal dengan istilah actor-observer bias, kecenderungan menyalahkan faktor eksternal saat menghadapi masalah, tapi menilai orang lain dari sifat atau kesalahan pribadi mereka.
Dalam kasus ini, Wali Kota Eva Dwiana tampak terjebak dalam pola tersebut, bahkan bisa jadi sengaja menggunakan strategi blame-shifting untuk mengalihkan tanggung jawab.
Ia kerap menyalahkan PT Pelindo II, Balai Pelaksana Jalan Nasional, masyarakat, hingga pemerintah daerah tetangga, tanpa pernah mengakui kegagalan sistemik di dalam pemerintah kota sendiri.
Eva Mesti Tanggung Jawab
Kepemimpinan modern mengajarkan bahwa sikap menyalahkan justru kontra-produktif. Dalam Good to Great, Jim Collins menggambarkan pemimpin Level 5 sebagai sosok yang rendah hati tapi punya tekad besar. Mereka mengakui kesalahan dan bertanggung jawab saat gagal, serta memberi kredit pada tim saat berhasil.
Sementara itu, prinsip dari The Oz Principle menegaskan bahwa akuntabilitas bukan soal mencari siapa salah, melainkan mengakui masalah, mencari solusi, dan bertindak.
Apa yang Dibutuhkan Bandar Lampung?
Warga Bandar Lampung tidak butuh pemimpin yang sibuk menunjuk jari, tapi pemimpin yang turun tangan dan mengajak semua pihak bekerja sama.
Eva Dwiana harus sadar bahwa sebagai Wali Kota, ia memegang kendali tertinggi atas tata kelola kota ini.
Jika saluran tertutup tanpa solusi, jika warga belum sadar soal kebersihan, jika koordinasi antar lembaga buruk, maka itu semua menunjukkan kegagalan pemerintah kota dalam membangun sistem yang antisipatif dan komunikatif. (*)