Pramoedya.id: Puluhan warga kembali turun ke jalan menuntut penyelesaian banjir yang kian parah di Bandar Lampung, Senin, (28/4/2025). Ini adalah hari keempat berturut-turut massa aksi mendatangi Kantor Walikota. Namun Walikota Eva Dwiana tetap memilih bersembunyi di balik tembok, masih enggan menemui rakyat yang menuntut pertanggungjawaban.
“Banyak narasi di luar sana yang menyebut Walikota mau berdialog. Kenyataannya, empat hari berturut-turut kami berdiri di depan kantornya, beliau tidak juga muncul,” tegas Wahyu, koordinator aksi.
Bagi massa aksi, ketidakmauan Walikota berdialog langsung mencerminkan sikap anti kritik dan ketidakpedulian terhadap penderitaan warganya sendiri.
Sebelumnya, pihak Walikota menawarkan dialog di ruang kantor, namun tawaran itu ditolak mentah-mentah. Massa aksi menuntut dialog terbuka di halaman kantor, agar seluruh masyarakat bisa menjadi saksi.
“Kami hadir mewakili ribuan korban banjir. Kami tidak mau berunding di ruang tertutup. Kami ingin dialog terbuka, yang jujur, dan bisa dilihat seluruh warga,” kata Wahyu.
Wahyu menambahkan, aksi ini tidak akan berhenti. Bahkan akan semakin besar sampai Walikota benar-benar muncul dan menawarkan solusi konkret, bukan sekadar janji kosong. Ia juga mengingatkan, banjir di Bandar Lampung bukan lagi bencana tahunan biasa, melainkan bencana struktural. Pada 2019, sekitar 2.000 rumah terdampak banjir. Kini, pada 2025, lebih dari 14.000 rumah terendam air, bahkan menelan delapan korban jiwa.
Tuntutan massa aksi dalam penyelesaian banjir Bandar Lampung:
1. Mendesak Walikota segera menyusun Grand Design atau Peta Jalan Penanganan Banjir Bandar Lampung secara menyeluruh dan ilmiah.
2. Rencana ini harus melibatkan para akademisi dan pakar lintas disiplin, mulai dari tata kota, geomatika, hidrologi, geologi, hingga ekologi, hukum, sosiologi, dan teknik sipil. Partisipasi aktif masyarakat terdampak harus menjadi prinsip utama.
3. Menjamin pemenuhan hak seluruh korban banjir secara adil, bukan sekadar kebutuhan primer, tetapi juga hak-hak sosial dan ekonomi yang setara.
Melakukan reformasi tata ruang berbasis kepentingan rakyat, serta menjatuhkan sanksi tegas terhadap seluruh perusak lingkungan.
4. Membenahi sistem pengelolaan sampah dari hulu ke hilir sebagai bagian dari solusi pencegahan banjir.
5. Menghentikan semua bentuk represifitas, intimidasi, dan kriminalisasi terhadap warga yang menyuarakan aspirasinya.(rls/agis)