Terus terang, Bahlil Lahadalia nggak pernah mengganggu kehidupan gua sama sekali. Tapi belakangan, medsos gua penuh dengan kabar soal Bahlil yang memaafkan para pengunggah dan perepost meme tentang dirinya, yang sebelumnya sempat mau dilaporkan oleh sayap Partai Golkar. Justru di situ letak gangguannya. Sebab gua baru tahu, ternyata Bahlil bisa selapang itu hatinya. Meski kebijakannya kerap dianggap blunder, rupanya dada Bahlil benar-benar luas.
Kronologi
Pramoedya.id: Kalau setiap orang yang bikin dan menyebarkan meme Bahlil dilaporkan, mungkin Indonesia perlu satu pulau baru di sebelah Nusakambangan. Pulau itu khusus buat mereka yang terlalu kreatif dengan template dan terlalu cepat menekan tombol repost.
Awalnya, semua ini tampak seperti gurauan dunia maya. Sebuah meme tentang Menteri Investasi Bahlil Lahadalia viral, disebar ulang, di-remix, dijadikan bahan bercanda. Tapi kemudian, Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG) merasa “terpanggil.” Mereka mendatangi Polda Metro Jaya untuk berkonsultasi soal dugaan pencemaran nama baik terhadap Bahlil.
Kabar itu pun meledak. Netizen panik setengah lucu, setengah takut: kalau semua yang repost ditangkap, maka 22.300 akun akan segera antre masuk penjara. Tentunya angka ini hanya klaim yang disebut oleh kreator konten DJ Donny. Dan dengan logika sederhana, kalau itu terjadi, negara bakal kehabisan penginapan gratis tersebut.
Untungnya, Bahlil kemudian muncul membawa kabar baik: dia memaafkan. Ia bahkan meminta agar laporan yang diajukan AMPG dicabut. Katanya, “kalau soal kritik kebijakan, silakan saja; tapi kalau sudah menyerang pribadi, itu tak baik.” Mungkin saat itu beliau sadar, memenjarakan rakyat yang tertawa bukan hanya mahal, tapi juga konyol.
Bahlil Selamatkan Indonesia
Mari hitung sebentar. Biaya makan satu narapidana di Nusakambangan sekitar Rp20 ribu per hari. Kalau 22.300 orang masuk karena meme, negara perlu Rp446 juta per hari hanya untuk memberi mereka nasi dan sayur bening. Setahun, tembus Rp162 miliar. Itu belum termasuk listrik, air, sabun, dan sandal jepit.
Barangkali di situlah Bahlil berubah pikiran. Bukan karena tekanan publik, tapi karena kalkulator negara menunjukkan hasil yang bikin kening berkerut.
Lucunya, sampai sekarang tak ada bukti bahwa laporan itu benar-benar dilanjutkan. Polisi bilang masih tahap konsultasi, bukan pelaporan resmi. Bahlil sendiri bahkan sempat bilang, “saya tidak tahu soal laporan itu.”
Tapi di luar kelucuannya, ada pelajaran yang agak serius. Di negeri yang pejabatnya bisa tersinggung oleh meme, keputusan untuk tertawa adalah bentuk kewarasan politik.
Dan mungkin di situlah letak visinya: Bahlil bukan hanya memaafkan, tapi juga menyelamatkan negeri ini dari kemungkinan paling absurd dalam sejarah digital. Negara bangkrut karena menertawakan pejabat.(*)







