Purwokerto, penghujung abad ke-19. Di tengah hiruk-pikuk pasar dan kolonialisme yang menekan, seorang bangsawan Jawa bernama Raden Aria Wirjaatmadja menatap gelisah. Ia melihat kaum pribumi kehilangan daya atas nasibnya sendiri. Para petani terjerat utang pada rentenir, sementara uang mereka mengalir ke tangan orang-orang yang tak pernah ikut menanam. Dari kegelisahan itu, lahirlah sebuah ide sederhana tapi revolusioner: bank untuk rakyat.
Pramoedya.id: Tanggal 16 Desember 1895, di sebuah ruangan sederhana, berdirilah De Poerwokertosche Hulp en Spaarbank der Inlandsche Hoofden, sebuah lembaga bantuan dan tabungan bagi kalangan bumi putra. Tak ada gedung megah, tak ada teknologi keuangan. Hanya semangat menolong sesama, berbasis gotong royong. Tak ada yang menyangka, dari benih kecil di kota kecil itu, akan tumbuh salah satu institusi keuangan paling berpengaruh di Asia: Bank Rakyat Indonesia.
Bank dari Rakyat, untuk Rakyat
BRI lahir dari kebutuhan. Di bawah sistem kolonial Hindia Belanda, akses keuangan adalah hak istimewa. Orang Eropa punya bank, perusahaan dagang, dan jaminan hukum. Sementara rakyat pribumi hanya punya tenaga dan harapan. Maka bank bantuan di Purwokerto itu adalah bentuk perlawanan halus terhadap ketidakadilan ekonomi.
Di masa-masa itu, BRI menjadi tempat pertama di mana orang Jawa belajar menabung, mencatat, dan percaya pada kekuatan kolektif. Hal ini menjadi simbol serta gagasan yang kelak diperjuangkan oleh Bung Hatta: ekonomi rakyat yang berkeadilan.
Menjadi Saksi Zaman
Seiring bergulirnya waktu, negeri ini berubah, dan BRI ikut bertransformasi bersamanya. Setelah kemerdekaan diproklamasikan pada 1945, ekonomi Indonesia masih gamang. Banyak lembaga kolonial ditinggalkan begitu saja. Dalam situasi itulah, BRI kembali dipanggil untuk menjadi tumpuan.
Tahun 1946, pemerintah muda Indonesia menugaskan BRI menyalurkan kredit kepada masyarakat desa, petani, dan pedagang kecil. Golongan yang menjadi tulang punggung republik baru ini. BRI menjadi jembatan antara cita-cita kemerdekaan dan realitas ekonomi di lapangan. Manfaatnya hadir di sawah, pasar, dan warung kopi, di mana rakyat belajar berdiri di atas kakinya sendiri.
Namun jalan sejarah tak pernah mulus. Di masa nasionalisasi bank pada 1960-an, BRI sempat digabung dengan lembaga lain menjadi Bank Koperasi, Tani, dan Nelayan (BKTN). Fokusnya masih sama: ekonomi rakyat. Tapi perubahan politik dan birokrasi yang rumit membuat lembaga ini kehilangan arah sesaat. Hingga pada 1968, BRI kembali dipisahkan dan dihidupkan ulang sebagai bank komersial milik negara dengan satu fokus utama, yakni melayani sektor kecil dan mikro.
Kupedes dan Semangat Swadaya
Dekade 1970-an hingga 1980-an adalah masa kebangkitan baru bagi BRI. Pemerintah Orde Baru mendorong industrialisasi besar-besaran, tapi BRI tetap teguh menjaga akar dengan melakukan pemberdayaan rakyat kecil.
Dari masa itulah lahir program legendaris, Kupedes (Kredit Umum Pedesaan).
Kupedes dirancang sederhana: pinjaman tanpa jaminan besar, berbasis kepercayaan dan kedekatan sosial. Melalui BRI Unit Desa, jaringan bank ini menjangkau tempat-tempat yang bahkan belum teraliri listrik. Para petugas lapangan berjalan kaki, naik sepeda, atau motor bebek untuk menjemput harapan rakyat kecil.
Kupedes membuktikan bahwa orang miskin bukan berarti tak layak dipercaya. Justru di tangan merekalah, ekonomi desa menemukan denyutnya. BRI tumbuh menjadi bank dengan jaringan terluas, tapi akar sosialnya tetap tertanam kuat di tanah rakyat.
Reformasi dan Ketangguhan Mikro
Krisis moneter 1997 mengguncang hampir semua bank besar di Indonesia. Banyak yang tumbang, ditutup, atau diambil alih pemerintah. Namun BRI jadi satu nama tetap berdiri tegak.
Mengapa? Karena BRI tidak bergantung pada korporasi atau konglomerat, melainkan pada jutaan nasabah kecil. Ketika bank-bank besar goyah oleh dolar dan saham, para petani, pedagang, dan ibu rumah tangga tetap mencicil pinjamannya di BRI Unit Desa. Mereka mungkin tak membaca laporan ekonomi, tapi mereka tahu arti tanggung jawab.
Pasca reformasi, BRI muncul sebagai pelopor microfinance modern. Hal ini menjadi contoh bagaimana lembaga keuangan bisa bertahan bukan karena besar, namun karena dekat. Tahun demi tahun, BRI memperluas layanan mikro: Kredit Usaha Rakyat (KUR), PNM Mekaar, dan berbagai inovasi yang menempatkan rakyat sebagai pusat, bukan objek.
Transformasi Digital dan Lahirnya Ekosistem UMi
Memasuki abad ke-21, wajah BRI berubah drastis. Dunia perbankan menuntut kecepatan, teknologi, dan inklusivitas. Namun, di balik perubahan itu, BRI tak kehilangan jati dirinya. Ia tidak menjadi bank yang melupakan akar, melainkan lembaga yang menyambungkan tradisi gotong royong dengan inovasi digital.
Program seperti BRIlink, BRImo, dan KUR Digital memperluas akses keuangan hingga ke pelosok, di mana cabang fisik tak lagi mampu menjangkau. Ribuan agen BRIlink di warung-warung kecil menjadi jembatan antara dunia digital dan ekonomi rakyat.
Namun puncak transformasi itu datang pada tahun 2021, ketika BRI membentuk Holding Ultra Mikro (UMi) bersama PNM dan Pegadaian.
Holding ini bukan hanya sebatas penggabungan tiga institusi, tapi sebuah langkah strategis untuk memperkuat ekosistem ekonomi ultra mikro yang sering luput dari radar bank konvensional.
UMi adalah wajah baru dari cita-cita lama. Memberi kesempatan kepada mereka yang bahkan belum punya izin usaha, belum punya rekening, tapi punya semangat berdagang. Hal ini sekaligus menjadi versi modern dari semangat yang dulu lahir di Purwokerto 130 tahun silam.
Dari Koin ke Kode QR
Kini, perjalanan panjang BRI bisa dibaca dalam simbol sederhana di sudut warung kopi: kode QRIS. Di sanalah sejarah bertemu masa depan. Dulu, rakyat menabung dengan recehan di kaleng susu; kini mereka menyimpan uang di ponsel pintar. Dulu, pinjaman dicatat di buku lusuh; kini transaksi bisa terjadi dalam hitungan detik.
Meski demikian, maknanya tetap sama: kemandirian ekonomi rakyat. Teknologi boleh berubah, tapi semangat untuk maju bersama tak pernah bergeser.
Refleksi: Rakyat, Bank, dan Harapan yang Tak Pernah Padam
Sejarah BRI bukan sekadar catatan lembaga keuangan, tapi cermin perjalanan bangsa. Ia menunjukkan bahwa kemajuan tidak lahir dari menara tinggi, melainkan dari pondasi yang kuat di bawah. Dari tangan-tangan kecil yang menenun harapan. Dari warung, sawah, dan pasar yang menghidupi jutaan keluarga Indonesia.
Jika hari ini kita berbicara tentang ekonomi inklusif, sesungguhnya BRI sudah mempraktikkannya jauh sebelum istilah itu populer. Ia membuktikan bahwa melayani rakyat kecil adalah sumber kekuatan yang tak bisa dibilang membebani. Dan dalam setiap inovasi barunya, BRI membawa warisan itu: bahwa kemajuan sejati adalah ketika semua ikut bergerak.
Lebih dari satu abad sejak didirikan, Bank Rakyat Indonesia menjadi saksi juga pelaku sejarah. Dari Purwokerto hingga pelosok Nusantara, dari koin logam hingga aplikasi digital, BRI telah menjahit satu benang merah, bahwa kemajuan bangsa tumbuh dari rakyatnya sendiri.
Sejarahnya bukan kisah tentang angka dan laba, tapi tentang kepercayaan lembaga dan masyarakat, antara masa lalu dan masa depan. Dan selama semangat itu dijaga, maka semboyan “Bersama Rakyat Indonesia Maju” bukan sekadar tema lomba, melainkan kenyataan yang terus hidup dalam denyut ekonomi rakyat.(*)







