Dari Kacamata Ferry Irwandi: Kasus Tom Lembong dan Absennya Niat Jahat

- Editor

Sabtu, 19 Juli 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Sumber| CNN

Sumber| CNN

Kalau pejabat sebersih Tom Lembong bisa dipenjara karena kesalahan prosedur, maka siapa pun bisa. Hari ini dia. Besok bisa kamu, atau siapa saja yang membuat keputusan di tengah absurditas birokrasi. Karena di republik ini, hukum bukan lagi soal benar atau salah.

Pramoedya.id: Begitulah nasib Tom Lembong. Seorang teknokrat yang dalam banyak hal lebih mirip manajer perusahaan daripada politisi. Gaya bicaranya data-driven, pikirannya terbuka, dan yang paling berbahaya di mata rezim: tidak punya beban untuk berbeda. Lalu datanglah vonis 4,5 tahun penjara karena tanda tangan rekomendasi impor gula. Padahal impor itu sah secara aturan. Padahal tak ada bukti aliran dana. Padahal harga gula stabil. Padahal keputusan itu diambil saat industri butuh napas.

Tapi semua “padahal” itu tidak berlaku di republik tafsir. Di mana satu surat bisa dituding subversif, dan satu keputusan bisa dianggap makar administratif.

Dua unggahan Instagram @irwandiferry yang viral di media sosial mungkin adalah salah satu dari sedikit suara waras yang tersisa. Ia bertanya: “Apa ada niat jahat? Tidak. Apa ada aliran dana? Tidak. Apa ada kerugian? Tidak. Apa layak dipenjara? Sangat tidak.” Tapi hari ini, akal sehat bukan lagi rujukan hukum. Yang berlaku adalah akal kekuasaan. Dan ketika tafsir hukum bisa menari-nari mengikuti irama politik, maka semua orang pada dasarnya sedang antre giliran.

Untuk yang belum mengikuti kasusnya, begini duduk perkaranya. Tom Lembong menjabat sebagai Menteri Perdagangan sejak Agustus 2015 hingga pertengahan 2016. Saat itu, industri makanan dan minuman dalam negeri tengah kesulitan, pasokan gula kristal rafinasi (GKM) untuk bahan baku produksi mulai menipis. Impor menjadi langkah logis demi menjaga kelangsungan produksi.

Sesuai regulasi, impor GKM diperbolehkan, tetapi hanya untuk kebutuhan industri dan dengan satu syarat administratif: harus ada rekomendasi tertulis dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Setelah rekomendasi itu keluar, barulah Kementerian Perdagangan bisa menerbitkan izin impornya.

Masalah muncul di titik ini. Dalam praktiknya, kala Tom Lembong menjabat, Kementerian Perdagangan mengeluarkan izin impor kepada sejumlah perusahaan, dengan landasan bahwa rekomendasi dari Kemenperin telah disampaikan, meski belakangan dipersoalkan bentuk dan prosedurnya. Bukan substansinya yang dipermasalahkan, tapi tata kelola surat-menyurat antarkementerian yang dianggap tidak sesuai format ideal.

Tidak ada kerugian negara yang dihitung. Tidak ada aliran dana ke pejabat. Tidak ada permainan harga di pasar. Bahkan harga gula saat itu cenderung stabil. Tapi pada 2024, Mahkamah Agung memutuskan bahwa tindakan tersebut merupakan bentuk penyalahgunaan kewenangan, karena izin impor dianggap dikeluarkan tanpa prosedur formal yang sah. Kemudian jatuhlah vonis 4,5 tahun penjara.

Yang disidangkan bukan niat jahat, tapi prosedur. Yang dihukum bukan karena memperkaya diri, tapi karena terlalu cepat mengambil keputusan dalam situasi genting. Dalam sistem yang terjebak dalam birokrasi pasal dan tafsir kekuasaan, Tom Lembong dihukum bukan karena korupsi, tapi karena dianggap terlalu rasional dalam negeri yang lebih suka simbol.

Biar lebih jelas, nggak ada kerugian negara yang dihitung secara aktual. Tidak ada uang yang mengalir ke rekening pribadi. Tidak ada rekayasa harga pasar. Bahkan harga gula pada tahun itu stabil. Tapi tetap saja vonis 4,5 tahun penjara dijatuhkan. Alasannya? Menyalahgunakan kewenangan.

Di sinilah letak bahayanya. Tafsir hukum soal “penyalahgunaan wewenang” dipakai tanpa ukuran niat, akibat, atau motif ekonomi rasional. Yang dipersoalkan bukan hasil kebijakan, tapi “gaya” pengambilan keputusannya. Dan yang lebih bikin merinding, dalam amar putusan sempat disebut bahwa Tom Lembong lebih memilih “ekonomi kapitalistik” ketimbang ekonomi Pancasila. Coba bayangkan: sekarang ideologi pun bisa jadi barang bukti di pengadilan. Maka lengkaplah semuanya. Mulai dari niat baik, keputusan rasional, hasil yang tidak merugikan, tetap bisa dikuliti satu per satu… karena secara ideologis tidak sejalan dengan rezim.

Masalahnya bukan Tom. Masalahnya adalah preseden. Kalau yang seperti ini bisa dipenjara, maka hampir semua pejabat negeri ini seharusnya juga bisa diseret ke sel. Sebab, siapa yang tak pernah menabrak prosedur demi kebutuhan yang lebih besar? Tapi sistem kita tidak bekerja berdasarkan kesetaraan. Ia bekerja berdasarkan siapa yang sedang menang.

Jadi jangan heran kalau hari ini, orang-orang yang pernah duduk dalam barisan berseberangan mulai satu per satu dijerat. Ada yang dicopot. Ada yang dikriminalisasi. Ada yang diadili bukan karena merugikan negara, tapi karena merugikan narasi besar kekuasaan. Dan kita disuruh menelan ini semua atas nama hukum, seolah hukum adalah kitab suci yang tidak bisa dibantah. Padahal kita tahu, hukum hari ini bisa jadi selembar kertas, besok jadi senjata.

Negara ini memang aneh. Yang tidak korup dipenjara. Yang merampok ratusan miliar malah rebutan kursi. Tapi siapa kita? Rakyat hanya bisa menonton, mencatat, dan sesekali menuliskan esai seperti ini. Agar dunia tahu, gila pun perlu dicatat, kalau tidak, besok kita disuruh percaya bahwa waras itu salah.(*)

Berita Terkait

Unras Damai Sinyal Pariwisata Lampung “Cerah”
#PolisiPembunuh: Barracuda Menggilas Kepercayaan Rakyat
Anggaran Pendidikan 2026 Setengahnya Jadi Nasi Bungkus
Drama Statistik Indonesia di Meja PBB
Lima BUMD Baru: Ambisi Mirza atau Sekadar Kue Politik?
Sekolah Rakyat Kehilangan Rakyat — Ratusan Siswa dan Guru Mundur
Logo ‘Ilegal’ Lampung, Bukti Lemahnya Political Will & Perda Cuma Pajangan
Jolly Roger Dunia One Piece dan Politik Baper Dasco

Berita Terkait

Jumat, 29 Agustus 2025 - 07:46 WIB

#PolisiPembunuh: Barracuda Menggilas Kepercayaan Rakyat

Rabu, 27 Agustus 2025 - 16:54 WIB

Anggaran Pendidikan 2026 Setengahnya Jadi Nasi Bungkus

Selasa, 19 Agustus 2025 - 18:13 WIB

Drama Statistik Indonesia di Meja PBB

Senin, 18 Agustus 2025 - 20:28 WIB

Lima BUMD Baru: Ambisi Mirza atau Sekadar Kue Politik?

Rabu, 13 Agustus 2025 - 14:05 WIB

Sekolah Rakyat Kehilangan Rakyat — Ratusan Siswa dan Guru Mundur

Berita Terbaru

Lampung

Tuntutan Agraria di Lampung Jadi Agenda Daerah

Rabu, 3 Sep 2025 - 20:19 WIB

Pendidikan

Lima Dosen UIN Raden Intan Lolos di Panggung AICIS+

Rabu, 3 Sep 2025 - 20:06 WIB

Sumber| Ist

Lampung

Pusat Urus Perut, Lampung Klaim Fokus ke Mutu Pendidikan

Rabu, 3 Sep 2025 - 18:00 WIB