“Tak ada angin, tak ada hujan, langit tiba-tiba runtuh.” Mungkin begitu perasaan lebih dari satu juta Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang baru saja menerima kabar pahit: pengangkatan mereka ditunda. Lolos seleksi ternyata bukan akhir perjuangan—mereka kini diuji untuk lolos dalam hal lain: kesabaran.
Pramoedya.id: CPNS dan PPPK 2024 seharusnya bisa bernapas lega setelah melewati proses seleksi yang panjang dan kompetitif. Dari total 1.289.824 formasi, 247.487 orang adalah CPNS, sementara 1.017.967 sisanya PPPK. Namun, alih-alih segera bekerja, mereka justru dipaksa memasuki fase ketidakpastian. Pengangkatan CPNS baru akan dilakukan pada 1 Oktober 2025, sedangkan PPPK bahkan lebih lama, hingga Maret 2026.
Bagi banyak orang, status sebagai ASN adalah simbol kepastian hidup—penghasilan tetap, jaminan hari tua, dan stabilitas ekonomi. Namun, dengan penundaan ini, harapan tersebut seolah berubah menjadi spekulasi. Mereka yang sudah mengundurkan diri dari pekerjaan lama kini terjebak dalam ruang kosong: tak bisa maju, tak bisa mundur.
Dampak ekonomi dari penundaan ini bukan main-main. Menurut CELIOS, potensi pendapatan yang hilang akibat kebijakan ini mencapai Rp6,76 triliun. Ini bukan hanya soal angka di atas kertas, tapi juga soal daya beli masyarakat yang tertekan, rencana keuangan yang berantakan, hingga meningkatnya pengangguran semu.
Tak sedikit CPNS yang sudah menolak atau keluar dari pekerjaan sebelumnya demi mengabdi pada negara. Sekarang, mereka menghadapi risiko besar: tanpa penghasilan dalam waktu yang tak sebentar. Sementara itu, biaya hidup terus berjalan, cicilan tetap harus dibayar, dan janji stabilitas yang dulu terdengar manis kini terasa pahit.
Jika pemerintah benar-benar ingin menata ASN dengan lebih baik, mestinya ada solusi yang lebih manusiawi. Pengangkatan bertahap bisa menjadi opsi, agar setidaknya mereka yang paling dibutuhkan—seperti tenaga kesehatan dan pendidikan—bisa segera bekerja. Jika penundaan tetap dilakukan, kompensasi finansial bagi yang terdampak perlu dipertimbangkan, entah dalam bentuk bantuan sementara atau proyek kerja transisi.
Yang tak kalah penting, komunikasi yang transparan. Kebijakan yang mendadak dan minim penjelasan hanya akan menciptakan keresahan. Jangan sampai ribuan orang yang sudah lolos seleksi justru merasa seperti korban prank administratif.
Menjadi ASN di Indonesia ternyata bukan hanya soal lolos tes kompetensi, tapi juga lolos dalam menghadapi realitas birokrasi. Bagi CPNS 2024, seleksi belum benar-benar selesai. Setelah lulus tes, kini mereka harus lulus dalam hal lain: ketahanan mental, kesabaran, dan kemampuan bertahan di tengah ketidakpastian.
Mungkin inilah seleksi tahap akhir yang sebenarnya. Bukan hanya soal menjadi abdi negara, tapi juga abdi penantian.(*)