Pramoedya.id: Fakta-fakta baru terkait dugaan praktik penyimpangan dalam distribusi dan pembayaran air bersih di Perumahan Permata Asri, Desa Karang Anyar, Kecamatan Jati Agung, Lampung Selatan makin menguat. Dikonfirmasi langsung oleh Perumda Tirta Jasa, hanya ada 265 pelanggan resmi yang tercatat dalam sistem mereka.
Pernyataan ini disampaikan oleh Kepala Bagian Umum Perumda Tirta Jasa, Yulianto, saat dikonfirmasi pada Senin (24/6/25). Sementara informasi di lapangan, terdapat ribuan kepala keluarga yang menggunakan layanan air bersih dan rutin membayar iuran Rp54.000 per bulan selama belasan tahun.
“Jumlah pelanggan resmi di Permata Asri hanya sekitar 265 pelanggan. Kami menggunakan sistem elektronik berbasis ID pelanggan, jadi tidak perlu lagi kwitansi manual karena pelanggan bisa bayar di mana saja,” ujar Yulianto.
Pernyataan ini memperkuat dugaan bahwa mayoritas warga selama ini tidak masuk dalam sistem resmi, tetapi tetap dipungut bayaran oleh petugas Unit Jati Agung. Artinya, ribuan KK yang membayar iuran tiap bulan tidak tercatat sebagai pelanggan sah, sehingga berpotensi menjadi bagian dari praktik ilegal yang mengalir di luar mekanisme Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Lebih lanjut, Yulianto mengungkap bahwa secara teknis pelaksanaan layanan air bersih memang diserahkan ke unit setempat. Dalam kasus ini, tanggung jawab operasional berada di tangan Kepala Unit Perumda Tirta Jasa Jati Agung, Sutarno.
Namun, di sinilah kejanggalan berikutnya muncul. Saat ditanya mengenai pemasangan baru, Yulianto menyatakan bahwa hal itu “tidak memungkinkan” dilakukan di Permata Asri karena debit air yang minim. Ia juga menyebut bahwa biaya pemasangan air hanya sekitar Rp1 juta, kecuali ada tambahan instalasi.
Pernyataan ini berbanding terbalik dengan keterangan yang disampaikan Sutarno, yang menyebut pemasangan jaringan paralon baru di kawasan tersebut dapat dilakukan dengan biaya mencapai Rp3 juta, dengan kisaran iuran bulanan sebesar Rp80.000.
Perbedaan informasi antar pejabat PDAM ini kian menguatkan dugaan bahwa telah terjadi praktik manipulatif di tingkat unit, yang selama ini berjalan tanpa pengawasan berarti dari kantor pusat.
“Ini semakin menunjukkan ada ‘main-main’ di bawah. Sistemnya sudah pakai elektronik, tapi di sini kami masih bayar manual, pakai kwitansi. Apa tidak aneh?” ujar salah satu warga yang enggan disebutkan namanya.
Dugaan pungutan liar, manipulasi ID pelanggan, hingga kebocoran PAD Lampung Selatan kini makin terang benderang. Warga mendesak Bupati, DPRD, dan aparat penegak hukum untuk segera membentuk tim investigasi independen guna menyelidiki aliran uang warga selama lebih dari satu dekade.
“Kami tak butuh janji, kami butuh keadilan. Jika benar uang kami selama ini tidak masuk kas daerah, lalu ke mana?” tutup dia.(*)