Ketika UI Perjelas ke-Bahlul-an Bahlil

- Editor

Jumat, 28 Februari 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Kita memahami betul bahwa dunia akademik adalah sesuatu yang sakral. Ia bukan sekadar proses administratif, melainkan perjalanan intelektual yang menguji ketekunan, integritas, dan dedikasi ilmiah seseorang. Dalam filsafat pendidikan, akademik kerap disamakan dengan Kawah Candradimuka, tempat seorang ksatria diuji hingga layak menyandang kesaktian. Namun, bagaimana jika proses itu dilalui dengan jalan pintas dan penuh kejanggalan?

Pramoedya.id: Kisah Menteri ESDM RI, Bahlil Lahadalia, menjadi bukti bahwa akademik bisa tercoreng oleh kepentingan politik dan privilese. Sidang etik yang digelar oleh 32 Guru Besar Universitas Indonesia (UI) merekomendasikan pembatalan disertasi doktoralnya karena ditemukan pelanggaran berat terhadap etika akademik dan standar penelitian.

Bahlil menempuh pendidikan doktoral hanya dalam 1 tahun 8 bulan, suatu capaian yang luar biasa cepat dibanding mahasiswa doktoral pada umumnya. Namun, cepatnya perjalanan akademik ini bukan hasil kejeniusan semata, melainkan indikasi pelanggaran prosedural. Laporan sidang etik menyebut bahwa Bahlil tidak memenuhi syarat akademik yang ditetapkan, baik dalam masa studi, metodologi riset, maupun transparansi data.

Lebih dari itu, terdapat temuan serius terkait kejujuran akademik. Disertasi yang ia ajukan ternyata menggunakan data tanpa izin dari narasumber, dan penggunaannya pun tidak dilakukan secara transparan. Dalam standar penelitian ilmiah, hal ini masuk dalam kategori pelanggaran etika penelitian yang bisa berujung pada pembatalan gelar.

Kasus ini semakin kompleks ketika ditemukan indikasi perlakuan khusus terhadap Bahlil dalam proses akademik. Ia mendapat keistimewaan dalam bimbingan, perubahan mendadak dalam tim penguji, hingga kemudahan dalam kelulusan. Dalam dunia akademik yang ideal, mahasiswa doktoral dituntut untuk melewati serangkaian ujian ketat, baik dalam proposal, seminar hasil, hingga sidang disertasi. Jika ada perubahan penguji secara tiba-tiba atau kemudahan dalam bimbingan, ini menimbulkan pertanyaan besar tentang integritas akademik yang seharusnya dijaga UI sebagai institusi pendidikan terkemuka di Indonesia.

Lebih parah lagi, sidang etik UI juga menyoroti adanya konflik kepentingan dalam promotor dan ko promotor yang membimbing Bahlil. Keterkaitan mereka dengan kebijakan yang dikeluarkan Bahlil sebagai pejabat negara menunjukkan adanya potensi ketidaknetralan dalam proses akademik. Hal ini bertentangan dengan prinsip akademik yang harus bebas dari intervensi politik dan kepentingan pribadi.
Meski begitu, rekomendasi sidang etik UI ini belum menjadi keputusan final. Rektor UI masih memiliki wewenang untuk memutuskan nasib gelar doktor Bahlil.

Namun, dengan bobot pelanggaran yang ditemukan, keputusan ini tidak hanya akan menjadi preseden bagi dunia akademik Indonesia, tetapi juga mencerminkan sejauh mana integritas pendidikan tinggi di negeri ini masih bisa dipertahankan.

Kasus ini semakin memperjelas siapa sebenarnya Bahlil Lahadalia. Jika selama ini publik melihatnya sebagai pejabat yang kerap melontarkan pernyataan kontroversial, kini terbukti bahwa sikap tersebut juga tercermin dalam perjalanan akademiknya.

Salah satu pernyataan paling absurd yang pernah ia lontarkan adalah ketika ia membahas kasus dugaan pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) oleh Pertamina. Bahlil menyebut bahwa tidak masalah mencampur bensin selama spesifikasinya sama.

Pernyataan ini jelas keliru secara logika dan teknis. Jika spesifikasinya sama, maka tidak ada yang perlu dicampur, sebab bahan bakar tersebut seharusnya sudah seragam. Pernyataan ini tidak hanya memperlihatkan pemahaman yang dangkal, tetapi juga menegaskan pola pikir pragmatis yang serampangan.

Kehadiran pejabat seperti Bahlil dalam kabinet tentu menjadi cerminan dari sistem yang lebih besar—sistem yang membiarkan ketidakjujuran akademik, memberikan privilese kepada segelintir orang, dan mengabaikan etika demi kepentingan politik sesaat.

Sebagaimana yang pernah dikatakan Dodok Punk, “Allah menganugerahi Lebanon dengan Kahlil Gibran, dan Allah menguji Indonesia dengan Bahlil dan Gibran.” Pernyataan satir ini mungkin terdengar sarkastik, tetapi ada kebenaran pahit di dalamnya.

Ketika integritas akademik dikorbankan demi kekuasaan, ketika kepentingan politik lebih diutamakan ketimbang standar keilmuan, maka yang dipertaruhkan bukan hanya nasib seorang individu, tetapi juga masa depan pendidikan dan moral bangsa ini.(*)

Berita Terkait

Ponten Siluman dan Rapor Merah Pendidikan
Uang Komite Sudah Dihapus, Tapi Dosa Lama Jangan Dikubur
Koperasi Merah Putih: Saat Koperasi Tak Lagi Milik Rakyat?
Desa Wisata Lampung di Persimpangan Potensi dan Tantangan
Cara Ikhlas Menjadi Miskin: Panduan Spiritual untuk Rakyat Biasa
Jejak Dalang di Tambang Ilegal Perbukitan Sukabumi
Eva Dwiana dan Politik Kambing Hitam di Tengah Genangan
Buying Time: Wacana Kontras Pemprov Lampung

Berita Terkait

Senin, 16 Juni 2025 - 21:08 WIB

Ponten Siluman dan Rapor Merah Pendidikan

Selasa, 10 Juni 2025 - 12:59 WIB

Uang Komite Sudah Dihapus, Tapi Dosa Lama Jangan Dikubur

Selasa, 10 Juni 2025 - 05:23 WIB

Koperasi Merah Putih: Saat Koperasi Tak Lagi Milik Rakyat?

Senin, 2 Juni 2025 - 17:19 WIB

Desa Wisata Lampung di Persimpangan Potensi dan Tantangan

Minggu, 1 Juni 2025 - 19:43 WIB

Cara Ikhlas Menjadi Miskin: Panduan Spiritual untuk Rakyat Biasa

Berita Terbaru

Foto: ilustrasi

Perspektif

Ponten Siluman dan Rapor Merah Pendidikan

Senin, 16 Jun 2025 - 21:08 WIB

Politik dan Pemerintahan

Edi Irawan Hibahkan Kantor Demokrat Lampung ke DPP

Minggu, 15 Jun 2025 - 17:19 WIB

LBH Dharma Loka Nusantara Desak Pemda Buat Perda Turunan UU TPKS

Hukum dan Kriminal

LBH Dharma Loka Nusantara Desak Pemda Buat Perda Turunan UU TPKS

Minggu, 15 Jun 2025 - 17:05 WIB