Pramoedya.id: Hari ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, May Day kembali diwarnai oleh buruh yang turun ke jalan. Poster-poster terangkat, tuntutan dilantangkan: naikkan upah, tegakkan keadilan.
Namun, ada yang terasa janggal. Tuntutan-tuntutan itu kini terdengar seperti sebuah kemewahan. Karena bagi banyak buruh, bisa tetap bekerja saja sudah merupakan anugerah.
Kita hidup di masa ketika mendapatkan dan mempertahankan pekerjaan terasa nyaris mustahil.
Sejak awal 2025, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) datang seperti arus deras yang sulit dibendung. Lebih dari 60.000 orang kehilangan pekerjaan hanya dalam dua bulan pertama. Itu belum termasuk runtuhnya Sritex yang menyeret lebih dari 10.000 buruh ke dalam jurang ketidakpastian.
Banyak dari mereka bahkan belum menerima pesangon. Mereka bukan sekadar diberhentikan, mereka dihapus dari sistem.
Ini bukan semata-mata karena perusahaan merugi.
Ini adalah dampak dari dunia yang bergerak terlalu cepat dan terlalu keras.
Apalagi, situasinya diperparah oleh memanasnya kembali perang dagang Amerika–Tiongkok. Ongkos produksi melambung, bahan baku langka, pasar ekspor tersendat.
Industri yang bergantung pada pasar global seperti tekstil, elektronik, dan alas kaki mulai goyah. Dan seperti biasa, yang pertama dikorbankan adalah buruh.
Yang masih bekerja hari ini tahu betul: mereka tidak aman. Mereka diam, bukan karena tidak peduli, melainkan karena takut. Takut menjadi angka berikutnya dalam daftar PHK yang terus bertambah.
Suara buruh hari ini memang lantang, tapi diiringi kecemasan: bagaimana bisa bertahan hidup?
Bahkan buruh di perusahaan besar pun tak lagi merasa aman. Tidak ada lagi istilah “aman”. Yang ada hanya “belum kena”.
Makin pahit lagi nasib buruh lantaran dunia kerja hari ini didominasi oleh kontrak pendek. Di atas kertas fleksibel, tapi kaku saat bicara perlindungan. Jaminan sosial minim. Banyak yang bekerja tanpa terdaftar.
Banyak yang terdampak tanpa terlindungi. Mereka hidup di pinggir sistem, bekerja tanpa pengakuan, dan ketika kehilangan pekerjaan, tak ada kompensasi.
Masih relevan kah menuntut kenaikan upah?
Tuntutan itu semakin penting. Bukan sekadar soal angka, melainkan soal hak dasar untuk hidup layak. Tapi tuntutan itu harus dibarengi dengan kesadaran bahwa sistem tengah berubah.
Dunia kerja tak lagi seperti dulu. Jika buruh tak dilibatkan dalam proses perubahan ini, mereka akan terus menjadi korban.
May Day hari ini bukan sekadar perayaan atau protes. Ia adalah pengingat. Bahwa ada yang salah jika bekerja keras seharian hanya cukup untuk bertahan seminggu. Bahwa ada yang sangat keliru jika bekerja dianggap sebagai anugerah, bukan hak.
Hari ini, buruh tidak meminta banyak. Mereka hanya ingin yang paling dasar: pekerjaan yang bisa dipertahankan, hidup yang bisa dijalani tanpa ketakutan dihapus dari sistem. Dibenak mereka saat ini, sekadar dipertahankan saja sudah syukur. Selamat Hari Buruh. (*)