Ditulis Oleh: Penta Peturun
Pramoedya.id: Tak ada bangsa yang sepenuhnya hidup dalam terang. Selalu ada sudut yang tak tersentuh matahari. Ruang di mana amarah, kelelahan, dan derita rakyat kecil tumbuh diam-diam, seperti lumut di dinding rumah tua. Indonesia, sejak generasi moyangnya, adalah bangsa yang terus berjalan di antara dua langit: satu penuh janji pembangunan yang gemerlap, dan satu lagi sesak oleh harga hidup yang tak kunjung bersahabat.
Di bawah langit kedua itulah Silat Gelap Zaman lahir. Ia bukan ilmu bela diri dari perguruan manapun, melainkan jurus sunyi yang diwariskan oleh ketidakadilan. Gerakan tak terlihat yang membuat negara sebesar apa pun goyah tanpa perlu satu pun peluru ditembakkan.
Pada Agustus 2025 malam, Jakarta menggigil oleh jeritan yang terekam kamera. Seorang pemuda ojek daring terkapar setelah tubuhnya diseret dentuman mobil aparat yang sedang mengejar kawanan massa. Lima menit berlalu, video itu sudah berkelana lebih jauh dibanding nasib pemuda itu sendiri. Malam itu, bukan hanya tubuh pemuda itu yang jatuh, tetapi kesabaran bangsa. Sosiologi modern menyebutnya boiling point, titik didih masyarakat. Sebuah bangsa tidak meledak karena satu kebijakan bodoh, tetapi setelah seribu luka kecil dibiarkan membusuk. Ketika satu insiden menjadi simbol, seorang pemuda tewas kontras dengan gaya hidup mewah seorang pejabat, seluruh luka tiba-tiba menjadi satu. Itulah silat gelap zaman.
Angka Surga, Harga Neraka
Dalam buku-buku sejarah, bangsa yang besar selalu diukur dari panjangnya jembatan atau bentangan jalan tol. Tetapi rakyat kecil tidak hidup dari panjangnya jalan. Mereka hidup dari panjangnya napas. Dan napas itu kini sesak oleh angka yang tidak manusiawi.
Harga beras naik 18%. Minyak goreng lebih dari 20%. Rumah makin mustahil dimiliki. Upah riil? Kenaikannya tipis seperti asap teh pagi. Sementara di layar kaca, para elite berjalan dengan pakaian rapih dan senyum yang diantar mobil mewah, mereka tidak pernah merasakan panasnya antre beras atau sesaknya mencicil kontrakan sempit.
Wasiat seorang ekonom tua terdengar kembali, seperti suara dari rumah yang sudah lama terbakar: “Pertumbuhan tanpa pemerataan hanya membuat bangsa berdiri di atas jurang ketidakadilan.” Soemitro Djojohadikusumo, 1971. Ia mengingatkan, “Janganlah pembangunan lupa kepada kaum pekerja, sebab merekalah tulang punggung Republik.” Tetapi entah mengapa, dalam republik ini, tulang punggungnya sendiri yang paling sering diabaikan.
Data Rakyat, Kulit Bawang
Bangsa kini hidup bukan hanya di tanah dan air, tetapi di layar gawai. Di sana, di ruang virtual yang kusut tanpa bintang, tumbuh ketakutan baru: keamanan digital yang rapuh. Data rakyat tercecer seperti kulit bawang. Akun rakyat miskin bisa diretas semudah membuka toples kue rengginang, dan ketika suara mereka hilang, tidak ada aparat digital yang datang.
Negara tahu bahaya itu. Digelarlah latihan Satsiber TNI, memadukan AD, AL, dan AU, bahkan berlatih siber bersama Amerika Serikat dalam Super Garuda Shield. Ada pengakuan bahwa perang masa depan lahir dari klik, dari kode.
Namun, rakyat kecil yang menggantungkan hidup dari aplikasi murah dan paket internet tipis bertanya pelan, “Apakah ada yang melindungi kami, bukan hanya negara?” Keamanan digital bukan hanya soal pagar militer, tetapi tentang tempat rakyat menyimpan harapan, gaji, data, dan identitas. Ketika pagar itu retak, gejolak sosial tidak hanya datang dari jalanan, tetapi dari layar yang pecah di genggaman tangan mereka sendiri.
Ledakan yang Tertunda
Rakyat Indonesia adalah rakyat yang sabarnya sepanjang sejarah. Mereka bekerja melampaui jam matahari. Mereka menabung dari uang receh. Namun kebaikan hati yang dipaksa, berubah menjadi bisu. Dan bisu yang dipaksa, berubah menjadi gelap. Dari gelap itulah silat zaman itu muncul.
Silat gelap yang tidak mengenal guru dan murid. Ia muncul di Indonesia pada 1998, 2016, 2020, dan kembali lagi pada 2025. Kerusuhan, pada akhirnya, bukan ledakan spontan. Ia adalah pesan. Pesan dari rakyat kepada bangsa yang terlalu lama mengabaikan akar luka.
Silat gelap zaman tidak pernah sepenuhnya hilang. Ia adalah denyut gelap dari keadilan yang tertunda. Selama pertumbuhan melupakan pemerataan, pembangunan melupakan pekerja, dan elite melupakan suara rakyat, maka jurus itu akan kembali. Menyelinap dari gang kecil, dari harga beras yang tak terbendung, dari rasa sesak yang dipendam terlalu lama.
Bangsa tidak ditentukan oleh kekayaan, tetapi oleh bagaimana ia memperlakukan rakyat kecilnya. Bangsa tidak runtuh oleh serangan musuh, tetapi oleh ketidakadilan yang ia toleransi sendiri. Silat gelap zaman adalah caranya mengingatkan.
Dalam kesunyian yang panjang itu, kita mendengar kembali suara Soemitro yang menembus zaman: “Pertumbuhan tanpa pemerataan hanya membuat bangsa berdiri di atas jurang ketidakadilan.” Karena pada akhirnya, di tangan kaum pekerja sajalah Republik ini berdiri. Dan di hati merekalah masa depan akan datang atau hancur. (*)







