Pramoedya.id: Aksi protes terhadap buruknya penanganan banjir di Bandar Lampung telah memasuki hari kedua.
Puluhan warga kembali memenuhi halaman depan Kantor Walikota, Kamis ( 24/4/2025) setelah sehari sebelumnya mereka juga menggelar unjuk rasa di lokasi yang sama.
Massa menuntut Walikota Eva Dwiana untuk segera turun tangan secara serius dan memberikan solusi konkret atas krisis banjir yang kian memprihatinkan.
Namun siapa nyana, seperti hari sebelumnya, demonstrasi warga kembali diwarnai tindakan represif dari aparat.
Massa yang hendak membentangkan spanduk sempat dibubarkan secara paksa, beberapa peserta aksi diadang dan didorong menjauh dari gerbang kantor pemerintahan.
“Aparat seolah lupa bahwa kami warga negara, bukan musuh negara,” ujar Wahyu, orator aksi yang juga menjadi salah satu juru bicara warga terdampak banjir.
Wahyu mengecam keras pendekatan aparat yang disebutnya antidemokratis dan bertentangan dengan konstitusi.
Ia menekankan bahwa unjuk rasa merupakan hak yang dilindungi undang-undang, apalagi menyangkut nyawa dan keselamatan warga yang telah menjadi korban banjir bertahun-tahun.
“Alih-alih dilindungi, kami justru ditekan. Padahal yang kami tuntut cuma satu: pemimpin yang bekerja, bukan hanya meninjau dan membagikan nasi bungkus saat kamera datang,” katanya.
Aksi ini, kata Wahyu, bukan sekadar reaksi emosional sesaat. Ini adalah bentuk akumulasi kekecewaan warga terhadap kebijakan tata ruang, lingkungan, dan infrastruktur yang selama ini dianggap tidak berpihak pada keselamatan rakyat.
Berdasarkan data BPBD, urainya, banjir terparah melanda kota ini pada 2019, merendam 2.528 rumah. Namun tahun ini, jumlah rumah terdampak melonjak drastis menjadi lebih dari 14 ribu unit, dengan sedikitnya 11 ribu jiwa terdampak langsung.
Warga menuding pemerintah kota gagal mengelola ruang terbuka hijau yang kini tersisa hanya 4,5 persen, serta membiarkan kerusakan massif pada 33 bukit di kota ini. Sungai-sungai mengering dan dangkal, drainase tak mampu mengalirkan air, dan sistem pengelolaan sampah nyaris lumpuh.
“Ini bukan bencana alam. Ini bencana struktural, buatan kebijakan yang salah arah. Dan kepala daerah punya tanggung jawab langsung atas itu,” urainya.
Ia memastikan aksi ini belum akan berhenti. Massa berencana melanjutkan protes hingga Walikota menunjukkan komitmen nyata, bukan sekadar retorika atau kunjungan seremonial.
“Kalau memang tidak punya solusi, lebih baik mundur,” tutupnya tegas. (*)