Penulis: Penta Peturun
Pramoedya.id: Negara Ini Milik Siapa? Apakah hanya milik mereka yang muda, berkulit kencang, dan wajahnya cocok terpajang di iklan rekrutmen?
Prolog ini saya tulis setelah memandangi lanskap pagi yang getir: para pekerja tua, tubuh mereka masih basah oleh keringat, berdiri di jalanan yang belum sepenuhnya lepas dari kabut.
Di ujung jalan, sekelompok orang menggenggam spanduk merah dengan sudut-sudut yang mulai robek. Tulisan putih di atasnya masih jelas terbaca: “Tolak Batas Umur Kerja.”
Wajah mereka keras, kering, dan letih. Namun di balik mata yang sembab, masih ada nyala, sebuah harapan yang dipaksakan tetap hidup, meski dunia seperti enggan lagi melihat mereka sebagai bagian darinya.
Tak ada yang “istimewa” dari mereka kecuali usia. Mereka bukan penyandang disabilitas. Bukan mantan narapidana. Bukan pula pekerja tanpa keterampilan.
Yang membedakan mereka dari pelamar kerja lainnya hanya satu: angka yang tertera di KTP.
Diskriminasi usia dalam dunia kerja bukan hal baru. Tapi di Indonesia, ia seperti sudah dianggap wajar, nyaris legal.
Iklan lowongan kerja dengan terang mencantumkan syarat maksimal usia 30 tahun. Kadang bahkan 27. Seolah setelah usia itu, seseorang kehilangan nilai ekonomisnya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2024 menunjukkan peningkatan pengangguran pada kelompok usia 35–49 tahun dibanding tahun sebelumnya. Ironis, karena kelompok ini justru memiliki pengalaman kerja paling matang.
Laporan BPJS Ketenagakerjaan bahkan menunjukkan ketimpangan kontribusi iuran berdasarkan usia, indikasi menurunnya partisipasi usia menengah dalam pasar kerja formal.
Logika pasar kerja di negeri ini masih melihat usia sebagai beban, bukan aset.
Padahal, riset dari Prof. Yassierli, pakar ergonomi dari Institut Teknologi Bandung, membantah asumsi itu.
Dalam berbagai studi, ia menunjukkan bahwa produktivitas tak berkorelasi langsung dengan usia, tetapi dengan desain kerja dan adaptasi sistem terhadap kemampuan manusia.
Namun alih-alih memperbaiki sistem agar inklusif, banyak perusahaan memilih jalan pintas: merekrut yang muda. Mereka dianggap lebih mudah dibentuk, lebih murah dibayar, dan belum terlalu banyak menuntut. Ini bukan sekadar strategi efisiensi, tapi cerminan kegagalan regulasi dalam menata keadilan kerja.
Pada Mei 2025, Kementerian Ketenagakerjaan menerbitkan Surat Edaran No. M/6/HK.04/V/2025 tentang larangan diskriminasi usia dalam rekrutmen.
Secara substansi, ini adalah pengakuan eksplisit bahwa diskriminasi telah terjadi secara meluas.
Namun secara hukum, surat ini “mandul” tanpa sanksi, tanpa mekanisme pengawasan, tanpa peta jalan perubahan struktural.
Dengan kata lain: ia hanya nasihat moral dalam bingkai resmi.
Padahal, diskriminasi usia bukan sekadar isu hak individu. Ia juga masalah ekonomi makro.
Negara kehilangan potensi pajak dari jutaan pekerja usia 40 tahun ke atas yang tersingkir dari sektor formal.
Perusahaan rugi karena terus melatih tenaga baru, alih-alih memanfaatkan SDM yang telah teruji.
Dan masyarakat memikul beban sosial, rumah tangga tanpa pencari nafkah, bantuan negara yang terus membengkak.
Bahkan dalam perspektif investasi sumber daya manusia, diskriminasi usia adalah bentuk pemborosan struktural.
Beberapa suara mulai lantang menyuarakan keresahan ini. Salah satunya Immanuel Ebenezer. Ia menyebut fenomena ini sebagai “pengusiran sistematis terhadap mereka yang pernah menopang pertumbuhan ekonomi.”
Dalam berbagai forum, ia mengingatkan: ini bukan sekadar soal pekerjaan, tapi soal hak untuk dihargai, bahkan saat uban mulai tumbuh.
Solusi jangka pendek bisa dimulai dengan insentif fiskal misalnya, potongan pajak bagi perusahaan yang mempekerjakan pekerja usia 40 tahun ke atas.
Namun solusi jangka panjang hanya mungkin jika kita mengubah cara pandang bahwa pengalaman bukan beban, tapi kekayaan. Bahwa sistem kerja seharusnya ramah terhadap semua tahap usia.
Tapi perubahan itu tak akan datang dari surat edaran. Ia membutuhkan regulasi yang memiliki daya paksa.
Ia menuntut keberpihakan politik, dan keberanian untuk mengakui satu hal: selama ini, pasar kerja kita dibangun di atas asumsi yang keliru bahwa nilai manusia bisa dikecilkan menjadi angka tahun lahir.
Konstitusi, melalui Pasal 27 ayat (2), menjamin hak atas pekerjaan bagi setiap warga negara.
Namun selama usia masih menjadi pintu masuk menuju penolakan, pasal itu tak lebih dari hiasan di ruang sidang.
Dan jika itu terus terjadi, maka pertanyaan ini layak diajukan kembali:
Negara ini milik siapa?
Apakah hanya milik mereka yang muda, berkulit kencang, dan menarik di depan kamera rekrutmen?
Atau, mungkinkah negara ini belajar menua tanpa meninggalkan mereka yang ikut membangunnya? (*)