Pramoedya.id: Solidaritas Perempuan Sebay Lampung menghadiri Asia-Pacific Stakeholder Meeting & Second Asia-Pacific Regional Review of the Implementation of the Global Compact for Safe, Orderly, and Regular Migration (GCM) di United Nations Conference Center (UNCC), Bangkok, Thailand.
Forum ini membahas tata kelola migrasi internasional serta perlindungan bagi pekerja migran.
Koordinator Program Solidaritas Perempuan Sebay Lampung, Amnesty Amalia Utami, mengatakan GCM merupakan kesepakatan global yang mengatur semua dimensi migrasi internasional secara menyeluruh.
Ia menambahkan bahwa meskipun tidak mengikat secara hukum, GCM dapat menjadi indikator dalam meningkatkan perlindungan pekerja migran, termasuk perempuan.
“Indonesia memiliki instrumen kesepakatan global lainnya, seperti meratifikasi berbagai konvensi internasional, salah satunya Konvensi Migran 1990. GCM sendiri telah terbentuk sejak 10 Desember 2018 di Maroko dan memiliki 23 tujuan yang diharapkan dapat diadopsi oleh Pemerintah Indonesia dalam menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN),” ujar Amnesty melalui rilis pernya, Senin (17/2/2025).
Selain itu, Solidaritas Perempuan Sebay Lampung juga memaparkan hasil penelitian dan pendampingan yang telah dilakukan dengan dukungan Program Safe and Care ILO (2021-2023) serta Program FPAR & Advocacy for Migrants oleh Asia Pacific Forum on Women, Law and Development (APWLD) (2022-2024).
Program tersebut berfokus pada penguatan purna migran, calon pekerja migran, serta pemangku kebijakan di Lampung agar migrasi dapat dilakukan secara aman dan berbasis gender.
Menurut Amnesty, pihaknya juga berupaya mendorong adanya aturan di tingkat desa yang melindungi calon pekerja migran, khususnya perempuan.
“Dalam pertemuan ini, kami juga mengetahui kondisi pekerja migran dari berbagai negara di Asia Pasifik dan tantangan yang mereka hadapi,” katanya.
Solidaritas Perempuan Sebay Lampung juga menyoroti pentingnya penyediaan layanan yang lebih baik bagi pekerja migran, terutama perempuan.
Mereka mengusulkan pendirian Layanan Terpadu Satu Pintu (LTSA) di wilayah kantong buruh migran di Lampung Timur yang responsif gender dan mudah diakses.
Selain itu, mereka mendorong adanya mekanisme komunikasi yang lebih baik antara pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan komunitas pekerja migran untuk membahas situasi serta kebijakan perlindungan pekerja migran.
Di sisi lain, mereka juga menekankan perlunya sistem perlindungan bagi perempuan pekerja migran di tingkat lokal melalui penyediaan informasi yang akurat dan komprehensif.
“Forum ini menjadi wadah bagi berbagai pihak untuk bertukar pengalaman dan menyusun strategi bersama guna memastikan migrasi yang lebih aman, tertib, dan teratur bagi pekerja migran di kawasan Asia Pasifik,” tutupnya. (Rls)