Oleh: Saddam Lampung, S.Sos
Pramoedya.id: Birokrasi seharusnya menjadi benteng terakhir dari profesionalisme dan integritas pemerintahan. Namun, apa jadinya jika jabatan strategis justru jatuh ke tangan kerabat kepala daerah? Itulah yang kini menjadi sorotan tajam di Kabupaten Lampung Tengah.
Baru-baru ini, Bupati Lampung Tengah, Ardito Wijaya, melantik adik iparnya, Welly Adi Wantra, sebagai Sekretaris Daerah (Sekda). Sebuah langkah yang memantik polemik, mencederai semangat meritokrasi, dan menimbulkan pertanyaan besar: Apakah birokrasi kita telah berubah menjadi alat kekuasaan keluarga?
Proses seleksi yang seharusnya ketat dan profesional justru menjadi abu-abu. Skor tinggi Welly dalam seleksi administratif dan rekam jejak memicu kecurigaan, terutama karena ia adalah keluarga dekat Bupati. Publik pantas bertanya: Apakah ini hasil kerja keras dan kompetensi? Atau karena darah yang sama mengalir dalam lingkar kekuasaan?
Asosiasi wartawan dan aktivis masyarakat sipil pun mengendus potensi kuat praktik nepotisme. Mereka tidak hanya mempertanyakan hasil seleksi, tetapi juga keabsahan prosesnya. Bagaimana mungkin publik percaya jika hasilnya justru menguntungkan kerabat kepala daerah?
Penunjukan seorang Sekda bukanlah perkara sepele. Ia adalah motor utama birokrasi, penentu arah pembangunan, dan pengawal kebijakan strategis daerah. Ketika jabatan ini diisi oleh figur yang dianggap “aman secara politik” namun tak terbukti unggul secara objektif, maka yang dikorbankan bukan hanya kualitas birokrasi, tapi juga masa depan daerah.
Praktik seperti ini menunjukkan kemunduran serius dalam sistem meritokrasi yang dijamin oleh Undang-Undang ASN. Padahal, aturan jelas menyebut bahwa pengisian jabatan pimpinan tinggi harus berbasis pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja. Bukan koneksi darah.
Jika praktik semacam ini dibiarkan, kita sedang menciptakan budaya birokrasi yang berbahaya: birokrasi yang tunduk pada loyalitas personal, bukan publik. Pegawai ASN akan kehilangan motivasi untuk bersaing secara sehat. Inovasi akan mati. Profesionalisme akan runtuh.
Lebih jauh lagi, masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada sistem pemerintahan. Dan ketika kepercayaan publik hancur, maka kehancuran demokrasi lokal hanya tinggal menunggu waktu.
Pelantikan ini harus menjadi titik balik. Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), DPRD, dan masyarakat sipil harus bersuara lantang. Proses seleksi harus diaudit secara transparan. Jika ditemukan intervensi, maka pelantikan harus dibatalkan dan diganti dengan proses yang independen.
Bupati sebagai pemimpin daerah seharusnya menjadi teladan, bukan pemicu kontroversi. Reformasi birokrasi yang digaungkan pemerintah pusat tak akan berarti jika di daerah justru terjadi pengkhianatan terhadap nilai-nilai integritas dan keadilan.
Lampung Tengah bukan milik satu keluarga. Ia adalah milik seluruh rakyat yang berhak mendapat pelayanan terbaik dari aparatur terbaik. Menjadikan jabatan Sekda sebagai “jatah keluarga” adalah bentuk pelecehan terhadap etika pemerintahan dan amanat reformasi birokrasi. Sudah saatnya publik bersuara. Karena jika kita diam, maka kita ikut merestui runtuhnya marwah birokrasi Indonesia.