Ditulis Oleh: Penta Peturun
Pramoedya.id: Di tanah yang dilingkari gunung-gunung tua dan kabut pagi yang lebih cepat turun daripada matahari, rakyat Lampung menanam kopi sebelum mereka menanam cita-cita. Di desa-desa Liwa, Belalau, Way Tenong, Sumberjaya, Kedondong, Talang Padang, hingga Krui, tak ada yang mencatat tahun pertama pohon kopi menyentuh tanah.
Namun pena kolonial yang dingin menuliskan, sekitar 1870, pohon-pohon itu mulai tumbuh. Bagi rakyat Lampung, kopi saat itu bukanlah komoditas.
Ia tumbuh seperti anak kecil, tanpa paksaan. Namun, sejarah selalu mengajar kita: apa pun yang tumbuh dari tangan rakyat akan segera diperebutkan oleh kekuasaan.
Martabat vs. Angka Pajak
Ketika sepatu-sepatu bot Belanda menginjak tanah Lampung, mereka tidak menemukan emas, tetapi menemukan sesuatu yang jauh lebih keras; rakyat yang menanam kopi dengan caranya sendiri.
Rakyat menjual kopi melalui jalur gelap Krui-Banten, menembus hutan dan ombak malam, membawa karung-karung kopi di punggung, jauh dari mata-mata kolonial yang selalu ingin tahu berapa biji kopi keluar dari setiap dusun agar pajak dapat dipungut.
Kolonial mencatat Lampung sebagai, “moeilijk te beheerschen koffiegebied”, wilayah kopi yang sulit dikendalikan. Sesungguhnya, itu bukan keluhan. Itu adalah pengakuan. Pengakuan bahwa ada rakyat yang tidak mau tunduk.
Rakyat Lampung menolak menjadi angka dalam buku pajak. Mereka menjaga kopi seperti menjaga harga diri; kopi bukan barang, tetapi martabat.
Robusta: Varian Pemberontak
Lalu dunia gempar. Di Jawa, Arabika kebanggaan kolonial hancur dilumat karat daun. Produksi turun lebih dari 70%.
Investor panik. Dari Kebun Raya Buitenzorg datang kabar, ada varietas baru yang kuat, keras kepala, tahan basah: jenis Robusta.
Dan Lampung dipilih menjadi kebun uji coba.
Tetapi Rakyat Lampung tidak menanam robusta karena perintah; mereka menanamnya karena tanah melahirkan pohon itu dengan mudah, karena pohon itu seperti mereka, tidak manja, tidak rapuh, dan tidak tunduk. Pada 1910, robusta Lampung mencapai 3.700 pikol.
Pada 1912, surat kabar Rotterdamsche Handelsblad menulis, “Lampongsche Robusta blijft een der meest betrouwbare koffiesoorten.” Robusta Lampung tetap menjadi kopi paling dapat diandalkan.
Mereka hanya menulis angka, harga, dan statistik. Mereka lupa menulis manusia. Mereka lupa menulis petani Sumberjaya yang memetik di bawah embun, perempuan Kedondong yang menjemur kopi di tikar bambu, atau pedagang Krui yang menahan ombak malam.
Universitas di Asap Kedai
Dunia retak lagi oleh Depresi Besar 1930 yang membuat pasar dunia tumbang. Harga kopi jatuh drastis. Perkebunan besar di Jawa runtuh seperti daun tua. Tetapi Lampung bertahan. Rakyat tetap menanam, memetik, menggantungkan hidup pada kopi. Karena bagi rakyat, kopi bukan industri.
Kopi adalah bagian dari tubuh, diwariskan dari generasi yang tidak pernah masuk buku sejarah.
Sebuah secangkir robusta pekat bukan hanya membuat mata melek. Ia membangunkan peradaban kecil dalam diri manusia. Ilmu pengetahuan menamainya “kafein” (menghambat adenosin, membuang kantuk), “dopamin” (memunculkan berani), “serotonin” (membawa cerah dan harap), dan “ACTH” (menajamkan rasa percaya diri). Tetapi rakyat sebelum ilmu mengetahui itu karena pengalaman: “kopi membangunkan nyali.”
Di Lampung, obrolan kolektif sambil menyeruput robusta pekat di Teluk Betung, Tanjungkarang, Liwa, Krui adalah universitas tanpa guru.
Di sana, rakyat mendengar kabar bahwa harga kopi naik di Rotterdam tetapi tidak naik di kampung, mandor menyembunyikan data, pajak semakin keras, dan organisasi pergerakan bernama Sarekat Islam menyebar. Kafein membangunkan tubuh, dopamin membangunkan hati, dan sejarah membangunkan pikiran. Kekuatan kolonial paling takut pada dua hal; rakyat yang cerdas, dan rakyat yang terjaga. Dan kedai kopi melahirkan keduanya.
Pada 1925–1929, Lampung mencapai masa emas, 19.400 pikol robusta dikirim ke dunia. Kapal-kapal dagang dari Rotterdam, Antwerpen, Hamburg, semuanya datang. Tetapi masa emas itu berumur pendek. Namun Lampung tidak runtuh. Karena kopi Lampung tidak lahir dari pabrik-pabrik kertas kolonial. Ia lahir dari dada rakyat. Selama dada rakyat berdetak, kopi tidak akan mati.
Kopi Ra’jat: Rebut Kembali Nama
Kini, setelah satu setengah abad, kopi itu kembali hidup. Bukan sebagai komoditas, tetapi sebagai nama, sebagai martabat, sebagai sejarah yang dibangkitkan kembali. Nama itu adalah, “Kopi Ra’jat Lampoeng”. Berasal dari “Lampongsche Robusta,” nama yang dulu dipakai Eropa, kini direbut kembali oleh rakyat yang menanamnya.
Nama yang lahir dari keringat petani, bukan dari sidang kolonial. Setiap teguk Lampongsche Robusta adalah perjalanan, dari kabut Liwa, dari peluh petani Sumberjaya, dari gelombang Krui yang membawa kopi gelap ke Banten.
Dari sejarah kolonial yang membekukan rakyat jadi angka. Dari keberanian rakyat Lampung yang menanam kopi ketika dunia runtuh. Dan kini kopi itu kembali pulang, membawa suara rakyat.
Minumlah secangkir Kopi Ra’jat Lampoeng. Di dalamnya, Anda sedang menyesap energi tubuh, energi sejarah, dan energi revolusi yang tenang. Revolusi yang tidak dimulai dengan senjata, tetapi dengan percakapan panjang di kedai-kedai kopi, dengan pikiran yang terjaga, dan hati yang tidak ingin lagi ditindas.
Inspirasi tulisan ini terlahir dari tegukan Kopi Ra’jat Lampongsche Robusta. Kopi ini bukan berasal dari pabrik raksasa, melainkan dari ladang-ladang yang telah menua bersama waktu; ladang yang telah menyaksikan kelahiran, kematian, tawa, dan tangis; ladang yang telah menyimpan cerita tanpa pernah memintanya untuk dituliskan. Tanah Lampung, dengan segala kejujurannya, menumbuhkan kopi yang keras, yang pekat, yang jujur seperti rakyatnya.
Dan sebagai anggota PKI (Penikmat Kopi Hitam), setiap tegukan adalah pengingat bahwa sejarah tidak pernah benar-benar mati; ia selalu hidup selama ada yang berani menyebut namanya kembali. “Lampongsche Robusta” adalah nama itu. Kopi Ra’jat Lampoeng adalah suaranya. Dan Anda, pembaca, adalah saksinya. (*)







