Republik di Atas Meja Negosiasi: Siapa Menjual, Siapa Membeli Keadilan?

- Editor

Rabu, 10 Desember 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Penta Peturun, Ketua DPD IKADIN Lampung

Penta Peturun, Ketua DPD IKADIN Lampung

Ditulis Oleh: Penta Peturun, Ketua DPD IKADIN Lampung

Pramoedya.id: “Di tengah reformasi pidana 2026, keadilan tiba-tiba memiliki harga. Negara mengejar efisiensi, aparat menawarkan percepatan, dan rakyat kecil kerap menjadi mata uang. Di titik inilah advokat menjadi pagar terakhir moral republik.”

Ada hari-hari tertentu dalam sejarah ketika bangsa ini dipaksa bercermin, bukan kepada kemegahan masa lalu, melainkan kepada kekelaman yang ia biarkan berlarut-larut. Dan pada tanggal 2 Januari 2026, cermin itu akhirnya diangkat tinggi-tinggi oleh republik; KUHP dan KUHAP baru mulai berlaku, menggantikan bayang-bayang Wetboek van Strafrecht dan KUHAP 1981 yang telah menua tetapi tetap menghantui. Pada hari itu, negeri ini seakan memperoleh kesempatan kedua untuk tumbuh dewasa di hadapan hukumnya sendiri.

Namun setiap kelahiran besar selalu datang membawa pertanyaan. Siapa yang akan menjadi penjaga? Siapa yang memastikan hukum itu tetap manusiawi?
Siapa yang berdiri di antara negara dan warganya, ketika keduanya tidak lagi setara? Jawabannya: “Advokat”. Profesi yang sering dipandang dengan curiga, disalahpahami, disederhanakan, tetapi justru berada di titik paling sunyi tempat keadilan diuji.

Reformasi Hukum: Sebuah Arus Baru yang Mencari Jalan

Lembaran UU baru itu memuat asas yang berbeda dari wajah hukum sebelumnya.
Di dalam KUHP 2023, manusia tidak lagi diperlakukan sebagai objek hukuman, tetapi sebagai makhluk yang dapat pulih.
Di dalam KUHAP 2025, proses tidak lagi dibangun dari keruwetan, tetapi dari ketepatan. Di negeri ini, selama puluhan tahun, pengadilan bekerja seperti pelabuhan tua. Kapal perkara datang tanpa henti, tetapi keadilan sering tidak mendapat tempat berlabuh.

Sistem baru 2026 mencoba menata dermaga itu kembali. Pasal 52-60 KUHP memberi arah; pemidanaan bukan lagi soal membalas, melainkan soal memperbaiki. Pasal 67-75 KUHP membuka jalan bagi pidana alternatif: kerja sosial, pengawasan, denda proporsional. Pasal 103-110 KUHP menegaskan keadilan restoratif; bahwa luka sosial tidak selalu sembuh dengan penjara. KUHAP baru memperkenalkan sesuatu yang selama ini dianggap tabu; pengakuan bersalah yang disahkan hakim, kesepakatan penyelesaian perkara, peradilan cepat. Di sini lahirlah sungai baru yang mengalir di dalam tubuh hukum yang lama
“plea bargain” versi Indonesia. Negosiasi yang terikat etika, terawasi hakim, dan hanya sah bila advokat berdiri di samping terdakwa.

Sungai Negosiasi dalam Balutan Keadilan.

Dalam sistem negara-negara jauh di barat, 95 persen perkara pidana diselesaikan lewat plea bargain. Negara lain menjadikannya pilar efisiensi. Indonesia baru mengadopsinya sekarang dengan wajahnya sendiri. Tetapi sungai ini tidak boleh dibiarkan liar. Sungai yang tidak diatur akan meluap dan membawa hanyut bukan hanya para terdakwa, tetapi juga kepercayaan rakyat kepada pengadilan.

Oleh karena itu hukum memutuskan; Negosiasi harus dicatat. Pengakuan harus diuji hakim. Tidak boleh ada tekanan. Tidak boleh ada kesepakatan gelap di lorong pengadilan. Dan advokat, selalu advokat, harus berdiri di sana sebagai penjaga batas. Dalam plea bargain Indonesia, pengakuan bersalah bukan sekadar kata-kata yang keluar dari bibir terdakwa. Ia harus lahir dari kesadaran, bukan ketakutan. Dari pemahaman, bukan tekanan.

Teori Jeremy Bentham: Hukum sebagai Perhitungan Luka dan Manfaat

Di abad yang jauh sebelum republik ini berdiri, Jeremy Bentham menulis bahwa hukum yang baik adalah hukum yang membawa kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbesar. Ia memandang hukum bukan sebagai patung, tetapi sebagai mesin rasional, tempat semua penderitaan dan manfaat harus dihitung dengan teliti. Jika Bentham melihat pengadilan kita hari ini, ruang sidang yang penuh sesak, proses yang lama, biaya negara yang membengkak. Ia mungkin berkata, “Bangsa ini mengorbankan terlalu banyak untuk keadilan yang datang terlalu lambat.”

Mekanisme plea bargain dan sidang cepat yang kini diperkenalkan membawa keuntungan yang sejalan dengan teori utilitarian itu; Mengurangi biaya peradilan 40-65%. Mengurangi tahanan pra-sidang 25-45%. Memangkas waktu perkara dari 180 hari menjadi 15-40 hari. Mengurangi backlog perkara 30-50%. Tetapi Bentham juga mengingatkan, “Efisiensi tanpa etika adalah kedunguan.” Di situlah advokat berdiri sebagai rem moral.

Analisis Ekonomi Hukum: Keadilan yang harus Rasional.

Richard Posner, Gary Becker, Kaplow-Shavell, mereka mengingatkan bahwa hukum tidak boleh mengabaikan biaya sosial yang dihasilkannya. Posner mengajarkan bahwa hukum pidana harus meminimalkan social cost. Becker melihat pelaku kejahatan sebagai makhluk rasional yang akan menimbang risiko.
Kaplow dan Shavell mengingatkan bahwa penegakan hukum tidak boleh “total”, ia harus optimal.

Plea bargain memenuhi semua itu bila diterapkan dengan integritas: mengurangi biaya negara, memberikan insentif kooperatif, mempercepat pemulihan korban, memberikan kepastian hukum bagi semua pihak.Tetapi teori tetaplah teori dan di lapangan, hanya ada satu sosok yang memastikan semua ini tidak berubah menjadi komedi hukum “Advokat”

Advokat: Penjaga Keadilan agar Tidak Diperdagangkan

Seorang advokat Indonesia jarang berdiri di panggung sejarah. Bukan karena ia tidak penting, tetapi karena ia bekerja di tempat yang paling gelap; ruang interogasi, sel tahanan, lorong pengadilan, meja penyidikan, ruang sidang yang pengap. Dalam sistem baru 2026, advokat justru berada di pusat badai.

Tanpa advokat, Pengakuan bersalah dapat dipaksa. Kesepakatan dapat dibeli. Korban dapat dipinggirkan. Terdakwa dapat kehilangan hak-haknya. Keadilan dapat berubah menjadi negosiasi murahan. Dengan advokat. Pengakuan diuji. Kesepakatan diawasi. Hak terdakwa dilindungi. Korban tidak dibiarkan sendirian. Negara diingatkan agar tetap berhati-baik pada warganya. Advokat adalah benteng terakhir antara negara dan kemalangan manusia. Ia mengubah plea bargain dari sekadar alat efisiensi menjadi alat martabat.

Hukum yang Akhirnya Bernafas

Reformasi hukum pidana Indonesia pada 2026 bukan sekadar perubahan pasal melainkan perubahan cara bangsa ini memandang diri sendiri. Selama puluhan tahun kita hidup dalam hukum yang tidak kita buat. Kini kita mencoba menata ulang dunia peradilan dengan tangan sendiri. Tetapi hukum hanya sekuat moral orang yang menjalankannya.

Hakim dapat salah membaca. Jaksa dapat tergoda efisiensi. Polisi dapat menekan.
Rakyat kecil dapat bungkam. Namun selama advokat berdiri tegak, selama ia menjaga pintu-pintu gelap yang tidak pernah dibuka ke publik, selama ia memastikan bahwa manusia tidak dikorbankan demi angka statistik, maka reformasi ini akan menemukan kekuatan sejatinya.

Plea bargain Indonesia akan menjadi bukan sekadar prosedur, tetapi jalan pulang bagi keadilan di republik ini. Dan di sanalah, advokat diam-diam tetapi pasti membuktikan dirinya sebagai bagian dari denyut jantung bangsa. (*)

Berita Terkait

Mengapa Kita Perlu ‘Gaya’ Kang Dedy?
Robusta, Kafein, dan Revolusi Senyap di Lampung
Wasiat Soemitro dan Silat Gelap Zaman  
Menggugat Taji Progresif Kejati Lampung
Rahmah El Yunusiyyah Sang Perobek Tradisi Al-Azhar dari Padang Panjang
Cahaya dari Kamboja
PKC PMII Lampung “Serampangan”, PB Wajib Karateker
Dua Pemimpin Sama-Sama Tak Layak, PMII Bandar Lampung Harus Segera Dikarateker

Berita Terkait

Rabu, 10 Desember 2025 - 20:41 WIB

Republik di Atas Meja Negosiasi: Siapa Menjual, Siapa Membeli Keadilan?

Kamis, 4 Desember 2025 - 22:14 WIB

Mengapa Kita Perlu ‘Gaya’ Kang Dedy?

Selasa, 25 November 2025 - 19:39 WIB

Robusta, Kafein, dan Revolusi Senyap di Lampung

Senin, 17 November 2025 - 09:04 WIB

Wasiat Soemitro dan Silat Gelap Zaman  

Kamis, 13 November 2025 - 19:20 WIB

Menggugat Taji Progresif Kejati Lampung

Berita Terbaru

Lampung

Jembatan Way Kali Nurik Ambruk, BMBK Lampung Gercep Tangani

Kamis, 11 Des 2025 - 18:50 WIB

Lampung

BMBK Lampung Catat 52 Ruas Jalan Rampung Diperbaiki

Kamis, 11 Des 2025 - 18:48 WIB