Ditulis Oleh: Sholeh Hasan, M.Pd.I (Ketua Prodi Pendidikan Agama Islam di Universitas Nurul Huda)
Pramoedya.id: Generasi Z, yang lahir dan tumbuh dalam naungan gawai dan internet, menghadapi sebuah paradoks. Di satu sisi, mereka memiliki akses informasi dan keterhubungan yang tak terbatas. Di sisi lain, mereka justru rentan terhadap kecemasan eksistensial (anxiety) dan Fear of Missing Out (FOMO)—perasaan cemas karena takut ketinggalan tren atau pengalaman yang dijalani orang lain. Scroll tanpa henti di media sosial seringkali berujung pada perbandingan sosial yang tidak sehat, merasa tidak cukup, dan akhirnya menggerogoti ketenangan jiwa.
Dalam konteks inilah, pendekatan keagamaan yang konvensional seringkali tidak lagi cukup. Di sinilah Psikologi Pendidikan Islam hadir sebagai jembatan yang sangat relevan. Ilmu ini tidak sekadar mengajarkan hukum halal dan haram, tetapi memahami proses mental dan emosional generasi digital untuk membangun ketahanan spiritual (spiritual resilience) dari dalam.
Psikologi Pendidikan Islam menawarkan seperangkat alat yang kokoh. Konsep qana’ah (merasa cukup) dan syukur adalah tameng psikologis paling ampuh melawan FOMO yang mendorong konsumsi tanpa henti. Ajaran ini bukan berarti pasif, tetapi aktif mensyukuri dan menikmati setiap proses yang telah dijalani, alih-alih terus-menerus membandingkan diri dengan sorotan kehidupan orang lain di dunia maya.
Selanjutnya, praktik muhasabah atau introspeksi diri yang teratur dapat menjadi bentuk mindfulness ala Islam. Di tengah hiruk-pikuk notifikasi, meluangkan waktu sejenak untuk merenung, mengevaluasi niat, dan menyadari kehadiran Tuhan (taqwa) dapat menurunkan tingkat kecemasan (anxiety) secara signifikan. Ini adalah mekanisme grounding yang powerful untuk mengembalikan kesadaran dari dunia virtual ke realita.
Lalu, konsep tawakal setelah berikhtiar memberikan ketenangan batin bahwa hasil akhir bukanlah sepenuhnya di tangan mereka. Ini meredakan kecemasan akan masa depan dan ketakutan akan kegagalan yang sering membayangi generasi Z. Mereka didorong untuk fokus pada proses yang dapat dikontrol, bukan pada outcome yang seringkali di luar jangkauan.
Tugas kita bersama—orang tua, pendidik, dan para pemangku kebijakan—adalah mengintegrasikan nilai-nilai psikologis-spiritual ini ke dalam metode pendidikan yang modern dan mudah dicerna. Konten keagamaan di platform digital perlu dikemas dengan kreatif, membahas isu-isu kekinian seperti FOMO dan anxiety dengan bahasa yang empatik dan solutif.
Era digital adalah keniscayaan. Namun, dampak psikologisnya bukanlah takdir. Dengan memperkuat fondasi spiritual melalui pendekatan Psikologi Pendidikan Islam yang progresif, kita dapat membekali generasi Z bukan hanya dengan akhlak mulia, tetapi juga dengan ketangguhan mental untuk navigasi gelombang digital dengan jiwa yang tenang dan penuh makna. (*)







