Pramoedya.id: Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), berdiri pada 17 April 1960 bukan sekadar untuk menciptakan wadah berkumpul bagi mahasiswa Islam. Ia lahir dari kesadaran sejarah, dari kegelisahan intelektual generasi muda Nahdliyin di masa awal kemerdekaan. Para 13 pendiri PMII, dan Ketua Pertama, Mahbub Djunaidi, bukan hanya ingin membuat organisasi, tetapi menciptakan ruang pembentukan karakter: tempat nalar bertemu nilai, tempat tradisi bersanding dengan kritik sosial.
Lebih dari enam dekade berjalan, PMII telah melintasi berbagai babak sejarah Indonesia. Ia hadir di tengah gejolak politik nasional, tumbuh di masa otoritarianisme, bertahan dalam era reformasi, dan kini berhadapan dengan realitas sosial yang jauh lebih kompleks. Tantangan kita bukan lagi hanya tentang melawan kekuasaan represif, melainkan soal bagaimana tetap relevan di tengah banjir informasi, fragmentasi gerakan, dan pudarnya kesadaran kritis di kalangan mahasiswa.
Hari ini, kita merayakan hari lahir PMII. Namun perayaan yang baik bukan hanya mengenang masa lalu, tetapi juga merenungkan kembali ke mana arah kita bergerak. Kita harus jujur, bahwa dalam banyak hal, organisasi ini sering kali terjebak dalam rutinitas struktural. Kaderisasi yang seharusnya menjadi ruang pembebasan berubah menjadi serangkaian pelatihan formal yang miskin refleksi. Diskusi kehilangan tajinya, pembacaan terhadap realitas sosial semakin dangkal, dan cita-cita pembentukan kader yang kritis dan transformatif kadang tenggelam oleh ambisi jabatan.
PMII pernah menjadi rumah bagi para pemikir. Ia adalah ruang di mana kitab kuning dibaca bersamaan dengan karya-karya Marx, di mana agama tidak dipertentangkan dengan ilmu sosial, dan keberpihakan pada rakyat kecil menjadi fondasi. Tapi hari ini, banyak dari warisan itu memudar. Kita terlalu sibuk mengejar pengakuan formal, lupa bahwa tugas utama PMII adalah membentuk kesadaran, baik itu kesadaran spiritual, sosial, dan intelektual.
Kita tidak bisa terus hidup dalam nostalgia. Menyebut nama Mahbub Djunaidi atau Gus Dur dalam setiap pembukaan acara tidak akan mengubah keadaan jika PMII hari ini tidak mampu melahirkan kembali semangat mereka dalam konteks kekinian. Kita tidak hanya butuh kader yang hadir dalam forum, tetapi kader yang sanggup membaca zaman dan mengintervensinya secara bermakna. Kader yang membaca bukan hanya untuk mencatat, tetapi untuk memahami. Kader yang berbicara bukan sekadar mengisi forum, tetapi menyampaikan gagasan yang punya basis etik dan intelektual.
Sebagai ketua Cabang PMII Bandar Lampung, saya memandang harlah ini bukan sebagai momen seremonial, tetapi sebagai jeda. Sebuah titik untuk berhenti sejenak, melihat ke dalam, dan bertanya: apakah PMII hari ini masih menjadi ruang pembentukan karakter dan nalar, ataukah kita telah menjauh dari cita awal para pendiri?
Tugas kita masih panjang. PMII belum selesai. Ia adalah proyek peradaban yang terus bergerak, terus diperjuangkan, terus dibentuk ulang. Dan kita semua, para kader, adalah pelakunya. Kita tidak sedang menjaga simbol. Kita sedang membentuk arah.
Selamat ulang tahun, PMII. Semoga kita tidak hanya merayakan, tetapi juga memperbarui janji untuk tetap berpikir merdeka, bersikap kritis, dan berpihak pada yang lemah. Salam Pergerakan. (Ketua PMII Cabang Bandar Lampung, Dapid Novian Matur)