Pramoedya.id: Penggusuran yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung terhadap warga di kawasan Sabah balau, Sukarame, Lampung Selatan, pada Rabu (12/2/2025), memicu aksi protes dari berbagai kalangan.
Pemprov yang mengklaim penggusuran tersebut sebagai bagian dari penertiban wilayah, menghadapi perlawanan keras dari warga dan pihak-pihak yang mendampingi mereka.
Sebanyak 1200 aparat keamanan diterjunkan untuk melaksanakan penggusuran tersebut. Namun, penggusuran yang semula dimaksudkan untuk menata kawasan itu berakhir dengan sejumlah tindakan represif.
Warga, khususnya perempuan, menjadi korban kekerasan saat berusaha mempertahankan rumah mereka.
Video yang beredar di media sosial menunjukkan, salah seorang perempuan hamil mengalami pendarahan yang diduga menyebabkan keguguran setelah terkena kekerasan dari aparat.
Sejumlah pihak mengkritik keras pendekatan yang digunakan oleh pemerintah dalam penggusuran ini.
Reni Yuliana Meutia, Ketua Badan Eksekutif Komunitas, menilai bahwa kebijakan tersebut semakin memperburuk ketimpangan sosial. Reni mengungkapkan,
“Pembangunan yang berwatak kapitalis ini merugikan masyarakat di kawasan tersebut, terutama perempuan yang sering menjadi korban ganda dari kebijakan seperti ini,” kata dia melalui rilis pernya, Selasa (18/2/2025).
Reni juga menyoroti masalah minimnya akses masyarakat terhadap kebutuhan dasar seperti tempat tinggal.
Dia menambahkan bahwa kebijakan penggusuran paksa yang dilakukan tanpa solusi yang lebih manusiawi justru melanggar prinsip-prinsip dasar kemanusiaan yang diatur dalam Komentar Umum PBB Nomor 7 Tahun 1997 tentang Penggusuran Paksa.
Dalam komentar tersebut, disebutkan penggusuran hanya boleh dilakukan sebagai langkah terakhir setelah upaya lain gagal.
Menurut Reni, prosedur yang mengatur penggusuran, seperti yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, harus diperhatikan dengan lebih serius oleh pemerintah.
“Penggusuran seharusnya menjadi langkah terakhir dan dilakukan dengan hati-hati, terutama mengingat dampaknya terhadap masyarakat yang terkena dampak langsung,” tegasnya.
Tak hanya itu, penggusuran ini juga dianggap mengabaikan prosedur perlindungan bagi warga yang terdampak, termasuk pemberian kompensasi yang layak pasca penggusuran.
“Banyak pihak yang mendesak agar pemerintah tidak hanya fokus pada pembangunan semata, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan rakyat, terutama warga miskin yang tergantung pada lahan tersebut untuk kelangsungan hidup,” lanjutnya.
Penggusuran ini menambah catatan panjang mengenai ketimpangan sosial dan penguasaan lahan yang semakin meluas di Indonesia.
Dalam hal ini, banyak kalangan menilai sektor bisnis terutama perusahaan ekstraktif selalu diuntungkan dalam hal penguasaan lahan dan perizinan, sementara masyarakat, terutama kelompok perempuan dan warga miskin kota, semakin terpinggirkan.
Reni menilai kebijakan seperti ini justru akan memperburuk ketimpangan sosial yang ada.
“Masalah yang sesungguhnya adalah kurangnya akses masyarakat terhadap tanah yang dapat mereka garap untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, terutama dalam konteks perempuan yang sering menjadi pihak yang paling terdampak,” tutupnya. (Rilis)