Pramoedya.id: Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid tak menampik sengkarut parah masalah pertanahan di Provinsi Lampung.
Nusron blak-blakan menuding banyak korporasi pemegang Hak Guna Usaha (HGU) di daerah itu abai terhadap kewajiban 20 persen plasma kepada masyarakat.
“Selama dua jam rapat koordinasi, memang masalah pertanahan di Lampung masuk ke dalam intensitas yang sangat tinggi dan banyak permasalahannya,” kata Nusron saat diwawancarai seusai rapat koordinasi bersama Gubernur Lampung, serta jajaran Bupati dan Wali Kota di Bandar Lampung pada Selasa (29/7/2025).
Sslah satu pemicu utama konflik agraria di Lampung adalah sengketa yang tak kunjung usai antara masyarakat dan korporasi, serta masalah aset negara.
Biang keroknya, menurut Nusron, adalah ketiadaan komitmen korporasi dalam memenuhi kewajiban plasma.
“Banyak korporasi pemegang hak guna usaha (HGU) yang tidak memenuhi kewajiban 20 persen plasma,” tegasnya.
Padahal, kewajiban plasma ini adalah amanat hukum, termaktub jelas dalam Peraturan Pemerintah (PP) dan Undang-Undang (UU).
Porsi 20 persen plasma ini sejatinya adalah hak masyarakat sekitar konsesi, dengan batas maksimal dua hektare teruntuk masyarakat , agar mereka turut merasakan manfaat ekonomi dari pengelolaan lahan di wilayahnya.
“Kami akan evaluasi dan cek di lapangan,” ancam Nusron. Jika terbukti ada pelanggaran, Kementerian ATR/BPN tidak akan tinggal diam.
Kalau yang bersangkutan ingin mengajukan HGU, tidak diberikan izin jika tak memenuhi plasma 20 persen
“Ini adalah peringatan keras bagi para pelaku usaha agar tidak lagi bermain-main dengan aturan,” tuturnya.
Ironisnya, di tengah luasnya lahan yang berada dalam genggaman korporasi, rakyat Lampung justru banyak yang tak bisa mencicipi kue pembangunan.
“Ini yang membuat masalahnya pada satu sisi penduduk Lampung banyak, lahannya yang luas dikuasai korporasi, tapi rakyatnya tidak bisa menikmati, sehingga menciptakan isu ketidakadaan dan akses kesempatan berusaha,” paparnya.
Kondisi ini, kata Nusron, menelurkan ketimpangan mencolok. Rakyat Lampung seolah terpinggirkan dari tanah mereka sendiri, kehilangan akses untuk mengelola dan memanfaatkan lahan demi keberlangsungan ekonomi dan pangan. Oleh karenanya, Kementerian ATR/BPN ditekan untuk
“menata ulang ini supaya akses rakyat bisa menguasai dan memanfaatkan tanah di Lampung. Tujuannya untuk kepentingan usaha masyarakat dan kepentingan pangan lebih terbuka daripada dikuasai oleh korporasi,” bebernya.
Desakan ini selaras dengan aspirasi para kepala daerah di Lampung yang meminta Kementerian ATR/BPN memastikan bahwa pengolahan dan pemanfaatan tanah di provinsi ini benar-benar memberikan kontribusi langsung, baik kepada pemerintah maupun masyarakat.
Tak berhenti di situ, Nusron juga mengungkapkan agenda krusial lainnya berupa inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah HGU serta Hak Guna Bangunan (HGB) yang telah habis masa berlakunya dan tidak diperpanjang. Angka yang mencengangkan terkuak.
Di Bandar Lampung jumlahnya ada 42 ribu hektare ini yang akan kami diskusikan untuk digunakan apa lahan ini,” ungkapnya.
Menurut regulasi yang berlaku, ada empat opsi pemanfaatan lahan ‘tidur’ ini. Pertama, pengembalian ke pemilik lama, dengan catatan yang bersangkutan masih menguasai dan memanfaatkan tanah dengan baik, jika tidak mampu, lahan tidak akan dikembalikan.
Kedua, lahan dialokasikan sebagai objek Reforma Agraria (TORA), dengan penetapan subjek penerima oleh bupati, wali kota, dan gubernur.
“Ketiga, lahan dapat diserahkan kepada bank tanah, menjadikannya bagian dari cadangan negara,” tutupnya. (*)