Oleh: Penta Peturun (Staff Khusus Menteri Ketenagakerjaan)
Di negeri ini, kadang hukum tercetak lebih cepat daripada keadilan berjalan. Di antara gemuruh produksi pabrik dan sunyi gedung-gedung tinggi, para pekerja menyimpan luka yang tak terlihat. Ijazah yang ditahan, hak yang dirampas, janji konstitusi yang dibiarkan melayang seperti asap dari cerobong pabrik.
Pramoedya.id: Mereka yang mengenakan seragam sederhana itu—bertanda kecil di dadanya: “Pengawas Ketenagakerjaan”—bukan sekadar pegawai. Merekalah negara yang datang, mengenakan seragam pengawas ketenagakerjaan.
Mereka membawa surat tugas. Ada laporan yang tidak bisa diabaikan: pekerja di perusahaan ini ditahan ijazahnya, seolah-olah masa depan mereka digadaikan untuk upah yang tak seberapa.
Beginilah negara hadir—bukan dalam pidato, bukan dalam baliho, tapi lewat langkah-langkah kecil pengawas ketenagakerjaan yang mungkin luput dari sorot kamera.
Sidak: Bukan Sekadar Prosedur
Sidak bukan sekadar rutinitas birokrasi. Di baliknya ada ide besar: negara harus hadir melindungi rakyatnya, bahkan ketika hak-hak mereka disandera dalam ruang-ruang kerja yang tersembunyi.
Landasannya jelas: Undang-Undang Dasar 1945 memerintahkan negara menjamin hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Regulasinya terang: UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Peraturan Menteri No. 33 Tahun 2016, Konvensi ILO yang telah diratifikasi, semuanya mengamanatkan hak pengawas untuk memasuki tempat kerja kapan saja tanpa pemberitahuan guna memeriksa kepatuhan terhadap standar kerja.
Dalam hubungan kerja, manusia harus diperlakukan sebagai subjek bermartabat, bukan sekadar angka produksi. Ketika pengawas ketenagakerjaan mengetuk pintu pabrik tanpa pemberitahuan, yang mereka bawa bukan hanya form inspeksi, tapi amanat negara untuk membela yang lemah.
Landasan Regulatif Kewenangan Sidak
Kewenangan Kementerian Ketenagakerjaan yang viral di medsos pimpinan Wamenaker Immanuel Ebenezer melakukan inspeksi mendadak (sidak) berakar pada berbagai regulasi nasional dan internasional, yang saling memperkuat legitimasi tindakan pengawas ketenagakerjaan, antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951
Menegaskan berlakunya ketentuan pengawasan perburuhan di Indonesia, yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan pengawasan terhadap hubungan industrial.
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Pasal 176: Menetapkan kewajiban pemberi kerja untuk mematuhi norma ketenagakerjaan yang berlaku.
Pasal 178: Memberikan kewenangan pengawas ketenagakerjaan untuk memeriksa dokumen ketenagakerjaan dan melakukan inspeksi di tempat kerja.
Pasal 179: Menyebutkan bahwa pengawas ketenagakerjaan berwenang memberikan peringatan dan rekomendasi untuk memperbaiki pelanggaran yang ditemukan.
3. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
Mengatur kewenangan pejabat negara untuk bertindak berdasarkan prinsip diskresi administratif dalam konteks pelaksanaan pengawasan, termasuk sidak.
4. Konvensi ILO No. 81 Tahun 1947, yang diratifikasi Indonesia melalui UU No. 21 Tahun 2003
Menegaskan kewenangan inspektur ketenagakerjaan untuk memasuki tempat kerja kapan saja tanpa pemberitahuan guna memeriksa kepatuhan terhadap norma ketenagakerjaan.
5. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 33 Tahun 2016
Memberikan pedoman teknis tentang prosedur dan tata cara pengawasan ketenagakerjaan, termasuk pelaksanaan inspeksi mendadak oleh pengawas ketenagakerjaan. Dalam regulasi ini, sidak diperbolehkan dilakukan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, apabila ada dugaan pelanggaran serius terhadap hak-hak pekerja.
6. Surat Edaran Dirjen PHIJSK No. B.796/PHIJSK/IX/2015
Menekankan bahwa penahanan ijazah pekerja adalah pelanggaran hak pekerja yang harus segera diperiksa melalui sidak.
Negara yang Hadir (atau Tidak?)
Sidak ketenagakerjaan lahir dari kebutuhan untuk menegakkan norma bukan di ruang rapat, melainkan di lantai-lantai pabrik, di ruang produksi yang pengap, di sudut toko-toko kecil.
Dalam sidak, negara tidak datang dengan dentuman pasukan. Negara datang dengan kertas surat tugas, dengan mata yang jujur, dan dengan keberanian melawan arus kapital yang kadang lebih kuat daripada hukum.
“Sidak itu sah”, ujar Wamen yang biasa di sapa Noel. Ia berpijak pada Undang-Undang, ia mendapatkan legitimasinya dari konstitusi, dan ia diperkuat oleh hukum internasional. Namun lebih dari itu, sidak adalah wajah kecil negara yang masih percaya bahwa kerja manusia harus dihormati, bukan diperas.
Bahwa pekerja yang menyerahkan tenaganya demi roda ekonomi berhak mendapatkan hak yang tak boleh ditukar dengan sekadar janji atau tipu muslihat.
Di balik seragam sederhana pengawas ketenagakerjaan, tersembunyi mandat besar:
membela hak warga negara di tempat kerja, memperbaiki ketimpangan relasi industrial, dan melawan budaya pelanggaran yang sudah mengakar.
Jumlah pengawas yang minim, kapasitas terbatas, hingga godaan kompromi adalah persoalan nyata. Di era teknologi, sidak tidak boleh lagi sekadar “seremonial”.
Sistem pengawasan harus berbasis data, terintegrasi digital, dan berfokus pada sektor-sektor rawan pelanggaran. Lebih penting lagi: sidak harus dikembalikan pada jiwanya—membela yang lemah, meluruskan yang salah, memperbaiki ketimpangan.
Negara Harus Hadir
Ketika pengawasan ketenagakerjaan efektif, bukan hanya pekerja yang terlindungi. Dunia usaha pun lebih sehat. Hubungan kerja lebih adil. Demokrasi ekonomi lebih kokoh. Karena itu, memperkuat kewenangan sidak pengawasan ketenagakerjaan adalah bagian dari memperkuat negara hukum itu sendiri.
Di tengah dinamika globalisasi, komitmen ini tidak boleh luntur. Ketika pengawasan ketenagakerjaan berjalan, bukan hanya pekerja yang mendapat perlindungan, tetapi negara hukum berkeadilan semakin kokoh berdiri. Di lantai-lantai marmer gedung-gedung itu, di pabrik-pabrik sunyi di pinggiran kota, di ruang-ruang kerja kecil, sidak tetap harus berjalan.
Di balik seragam sederhana itu, negara hadir. Dalam langkah kecil para pengawas, negara mewujudkan janjinya kepada pekerja: melindungi, menghormati, dan memenuhi hak mereka.
Negara tidak hanya ada di ruang sidang atau upacara. Negara juga harus hadir di ruang produksi, di pabrik-pabrik, di toko-toko, di mana pekerja bertaruh hidup mereka untuk secarik penghidupan. Dan hadirnya negara harus terasa—seperti ketukan ringan di pintu, yang berbunyi: “Kami datang. Hakmu dilindungi.”(*)