Mitra Bukan Pekerja: Seruan dari Jenewa

- Editor

Selasa, 10 Juni 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Penta Peturun

Penta Peturun

Ditulis Oleh: Penta Peturun

Pramoedya.id: Di atas motor tua dan algoritma yang tak pernah tidur, mereka menafkahi keluarga, namun tak pernah diakui sebagai pekerja.

Di persimpangan jalan kota-kota besar Indonesia, setiap pagi jutaan pengemudi ojek online memutar gas, seolah tanpa nama, bekerja tanpa status jelas. Mereka disebut “mitra“. Sebuah sebutan yang, alih-alih memberdayakan, justru terasa seperti strategi halus untuk menyembunyikan realitas: mereka tak punya jam kerja tetap, tak ada ruang istirahat, tiada kontrak resmi, dan ironisnya, tak pernah dianggap pekerja seutuhnya.

Istilah “mitra” dalam ranah hukum ini bukan sekadar redaksi administratif belaka. Ini adalah upaya sistemis yang dengan sengaja mengeluarkan individu dari perlindungan hukum, sekaligus memindahkan beban tanggung jawab dari perusahaan ke pundak mereka sendiri.

Meminjam logika Hans Kelsen, ini berarti menggeser posisi seseorang dari rantai norma formal ketenagakerjaan. Jika bukan pekerja, maka secara hukum mereka tak berhak atas jaminan sosial, cuti, apalagi upah minimum yang layak.

Suara yang Diabaikan, Kini Menggema di Dunia

Namun, dunia tak pernah berhenti berputar, dan kadang, suara dari jalanan bisa mengguncang sidang di Jenewa. Di markas besar International Labour Organization (ILO) dan Kantor PBB di Jenewa, Swiss, Konferensi Perburuhan Internasional ke-113 tahun 2025 menjadi saksi sejarah.

Sebanyak 187 negara anggota berkumpul dengan satu agenda krusial: untuk pertama kalinya, platform digital tak lagi disebut sekadar entitas teknologi, melainkan diakui sebagai struktur kerja yang nyata.

Indonesia tidak hanya hadir sebagai penonton di ruang sidang ILO; delegasinya berdiri dan bicara, mengakui realitas tersebut. Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer (Noel), datang langsung “dari jalanan ke Jenewa” untuk menghadiri pembukaan konferensi pada 2-13 Juni 2025.

Noel menegaskan kehadirannya sebagai perwakilan tripartit Indonesia, pemerintah, pekerja/buruh, dan pengusaha, adalah demi menghasilkan regulasi yang diharapkan menjadi standar global.

Dalam kesempatan itu, ia menyoroti tiga isu penting yang selaras dengan kebijakan nasional dan kepedulian global: pekerjaan layak dalam ekonomi digital, perlindungan dari bahaya biologis di tempat kerja, serta transisi pekerja informal ke formal demi jaminan sosial dan kepastian kerja yang lebih luas.

Kehadiran Indonesia dalam forum global ini adalah bukti komitmen pemerintah untuk memperkuat posisi di kancah internasional, khususnya dalam membela hak-hak pekerja, membangun hubungan industrial yang harmonis, dan menciptakan lapangan kerja berkualitas.

Immanuel menegaskan, Pemerintah Indonesia bukan sekadar peserta, melainkan bagian dari solusi global di dunia kerja. Dengan suara lantang, Noel berseru,

“Kami ingin memastikan bahwa suara Indonesia didengar, dan standar yang dihasilkan relevan serta berpihak kepada kemanusiaan dan keadilan sosial.”

Puncaknya, pada 5 Juni 2025 pukul 19.20 waktu Jenewa (00.20 WIB), Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Indah Anggoro Putri, mewakili Menteri Ketenagakerjaan Prof. Yassierli, memperkuat posisi Indonesia.

Dalam sidang Komite Kerja Layak untuk Ekonomi Platform, ia menegaskan, “Pemerintah Indonesia memandang bahwa pembahasan lanjutan konvensi ini sangat strategis, tidak hanya bagi pekerja, tetapi juga bagi pengusaha dan perekonomian nasional secara luas.” Dengan pernyataan tersebut, Indonesia secara resmi menyatakan dukungan penuh terhadap pembentukan Konvensi ILO tentang Pekerja Digital.

Kapitalisme Algoritmik: Kekuasaan Tanpa Wajah

Dalam ekosistem kerja digital, sosok bos tak lagi berwujud manusia, melainkan algoritma yang tak kasat mata. Aplikasi seperti GoPartner, GrabDriver, dan Maxim menjelma menjadi panoptikon versi modern, melacak, mengatur, bahkan menghukum para pengemudi, semuanya tanpa suara.

Mereka tak lagi tahu siapa yang mengendalikan; yang mereka tahu hanyalah sistem bisa menghilangkan penghasilan mereka dalam satu klik.

Konsep ini digambarkan dengan tajam oleh Michel Foucault: kekuasaan bukan hanya bersifat represif, tapi juga produktif, membentuk tubuh dan pikiran, perilaku, dan rutinitas individu.

Dalam sistem ini, setiap klik, jeda, dan detik diam adalah data berharga. Shoshana Zuboffmenyebutnya surveillance capitalism, sebuah bentuk kapitalisme yang mengkomodifikasi perilaku manusia. Dengan demikian, pengemudi ojol bukan sekadar bekerja; mereka diubah menjadi data yang kemudian diperjualbelikan.

Ketika Doa Menjadi Data

Apakah negara selama ini cukup mendengar suara-suara yang tak terekam dalam survei-survei resmi? Obrolan antarhelm, keluhan di parkiran, atau percakapan di grup WhatsApp, semuanya adalah bentuk pengetahuan sosial yang belum diakui sebagai sumber kebijakan. Namun, di tahun 2025, narasi itu akhirnya berubah.

Konferensi ILO 2025 menandai sebuah perubahan epistemologis yang signifikan. Yang semula disebut “keluhan” kini bertransformasi menjadi “data sosial“. Yang sebelumnya tak tertulis dalam hukum, kini menjadi dasar konvensi internasional. Sebagaimana dikatakan Paulo Freire, kesadaran kritis lahir ketika yang tertindas mulai bicara tentang dirinya sendiri. Maka, pidato para pengemudi ojol, walau tanpa podium, adalah argumen yang tak terbantahkan.

Substansi Perubahan Dunia: Isi Konvensi ILO

Draf Konvensi yang telah disetujui akan memuat sejumlah hal krusial yang akan mengubah lanskap kerja digital secara global. Ini mencakup definisi formal pekerja digital sebagai entitas yang sah dan diakui hukum. Kemudian, ada kewajiban negara untuk menyediakan jaminan sosial dan BPJS bagi mereka.

Konvensi ini juga menuntut transparansi sistem algoritma serta perlindungan menyeluruh terhadap diskriminasi digital. Tak kalah penting, hak-hak fundamental seperti hak berserikat dan melakukan negosiasi kolektif bagi pekerja platform akan dijamin, termasuk pembatasan jam kerja maksimal dan pemberian cuti yang layak.

Noel, selaku Wamenaker, menyebutnya sebagai “pencapaian diplomatik, sekaligus kemenangan epistemik dan sosial. Suara-suara yang selama ini dianggap pinggiran telah menjadi dasar perumusan hukum global.”

Tantangan di Dalam Negeri: PR Republik

Pengakuan internasional ini hanya akan bermakna jika diikuti dengan langkah legislasi nasional yang konkret. Maka, ada peta jalan yang perlu segera dibangun di dalam negeri. Pemerintah harus segera merevisi Regulasi tentang Ketenagakerjaan, khususnya pasal definisi “pekerja”, untuk secara eksplisit mencakup platform digital dan mewajibkan audit algoritma. Selain itu, perlu ada pembentukan unit pengawasan digital (Waskerdig) di Kementerian Ketenagakerjaan.

Kewajiban bagi platform untuk membayar iuran BPJS dan mematuhi standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) digital juga harus ditegakkan. Terakhir, penting untuk menyediakan ruang aduan dan forum negosiasi yang efektif antara pekerja dan perusahaan platform.

Negara lain sudah lebih dahulu melangkah, seperti Spanyol dengan Ley Rider (2021), serta Portugal dan India yang telah mengintegrasikan pekerja platform ke dalam regulasi sosial mereka. Uni Eropa sendiri tengah menyusun Platform Work Directive. Semoga, Indonesia pun dapat segera menyusul, memenuhi harapan jutaan pekerja online yang selama ini menggantungkan hidup pada jalanan.

Kerja Sebagai Ibadah, Bukan Statistik

Dalam Islam, kerja adalah bagian dari ibadah. Dalam Kristen, kerja adalah pelayanan dan perwujudan kasih. Dalam falsafah Jawa, kerja adalah harmoni dengan semesta. Maka, ketika pengemudi ojol tak dihormati secara hukum, bukan hanya keadilan sosial yang terluka, tetapi roh bangsa ini ikut tercabik.

Kerja bukan sekadar tentang angka-angka dalam aplikasi. Ia adalah keringat, waktu, pengorbanan, dan doa tulus. Di setiap istirahat yang mereka ambil, ada harapan agar anak bisa sekolah, agar bensin cukup sampai malam, agar algoritma tidak menghukum mereka diam-diam.

Visi Politik Baru Republik

Republik bukanlah institusi yang hanya mendengar suara elit. Ia hidup karena mendengar detak napas mereka yang bekerja tanpa panggung. Pekerja digital bukan ancaman, melainkan denyut nadi baru bagi kemajuan bangsa.

Kini kita menghadapi pilihan historis: apakah Indonesia berani menulis ulang definisi pekerja dalam hukum nasionalnya, atau tetap menyembunyikan jutaan buruh digital di balik kata “mitra”? “Ketika kerja tidak dihormati, maka Republik kehilangan akarnya.” Hari ini, akar itu membawa helm, menyusuri jalanan, dan berharap negara menyapanya kembali sebagai manusia, bukan hanya statistik. (*)

Berita Terkait

Ekosipasi: Antara Kopi, Gunung, dan Asap Cerutu – Sebuah Filosofi Hidup dan Perjuangan
Skandal Meritokrasi di Lampung Tengah: Ketika Jabatan Sekda Jadi Urusan Keluarga
Kelola Keuangan Daerah Bukan Seperti Mengelola Warmindo
Pramoedya dan Perlawanan Digital: Refleksi atas Nasib Driver Ojol dalam Kapitalisme Pengawasan
Dari Pesantren ke Dunia Kerja: Lampung Siapkan Generasi Berbasis Green Job
2030, Saat Dunia Dipimpin oleh AI
Usia, Diskriminasi, dan Paradoks Pasar Kerja
Kereta Gantung Bandar Lampung: Ketika Ambisi Mengabaikan Realitas Sosial

Berita Terkait

Kamis, 12 Juni 2025 - 19:47 WIB

Skandal Meritokrasi di Lampung Tengah: Ketika Jabatan Sekda Jadi Urusan Keluarga

Kamis, 12 Juni 2025 - 08:30 WIB

Kelola Keuangan Daerah Bukan Seperti Mengelola Warmindo

Rabu, 11 Juni 2025 - 19:57 WIB

Pramoedya dan Perlawanan Digital: Refleksi atas Nasib Driver Ojol dalam Kapitalisme Pengawasan

Selasa, 10 Juni 2025 - 06:41 WIB

Mitra Bukan Pekerja: Seruan dari Jenewa

Jumat, 6 Juni 2025 - 20:11 WIB

Dari Pesantren ke Dunia Kerja: Lampung Siapkan Generasi Berbasis Green Job

Berita Terbaru

Sumber| Fimela (ilustrasi)

Hukum dan Kriminal

Kacau! Mantri di Pringsewu Potong Pucuk Alat Kelamin Anak Saat Khitan

Minggu, 15 Jun 2025 - 18:21 WIB

Politik dan Pemerintahan

Edi Irawan Hibahkan Kantor Demokrat Lampung ke DPP

Minggu, 15 Jun 2025 - 17:19 WIB

LBH Dharma Loka Nusantara Desak Pemda Buat Perda Turunan UU TPKS

Hukum dan Kriminal

LBH Dharma Loka Nusantara Desak Pemda Buat Perda Turunan UU TPKS

Minggu, 15 Jun 2025 - 17:05 WIB