Mengapa Kita Perlu ‘Gaya’ Kang Dedy?

- Editor

Kamis, 4 Desember 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Muhar Efendy, Pemuda NU

Muhar Efendy, Pemuda NU

Penulis: Muhar Efendy, Pemuda NU

Pramoedya.id: Di panggung politik kita, jenis pemimpin yang paling dicintai adalah si tukang pamer: peresmian jalan, tumpukan beton, angka investasi yang bikin silau. Mereka yang mendefinisikan sukses dengan seberapa besar kerusakan yang bisa disembunyikan di balik kemajuan fisik.

Lalu muncul keberanian yang lain, yang aneh, yang tidak mau dipuji: keberanian berkata tidak pada perusakan.

Di titik inilah, langkah Kang Dedi Mulyadi (KDM) di Jawa Barat menjadi anomali politik yang berharga. Ketika semua orang sibuk mengkonversi hutan menjadi komoditas dan sungai menjadi saluran limbah, ia justru memilih jalur perlawanan. Penertiban lahan yang ia lakukan bukan sekadar urusan administrasi pertanahan—itu adalah perang melawan mentalitas eksploitatif yang sudah mendarah daging.

Dalam politik yang diukur dengan seberapa tebal dompet pengusaha, KDM memilih menghitung untung-rugi dengan kalkulasi yang paling mahal: keselamatan generasi masa depan.

Keberanian yang Menyengat

Keputusan ini jelas tidak akan membuatnya populer di kalangan pemilik modal. Menjaga lingkungan itu menyengat. Ia pasti berhadapan dengan kepentingan besar, cemberutnya pengusaha, dan mungkin saja protes warga yang terlanjur nyaman menggantungkan nasib pada pola yang salah. Jika seorang kepala daerah tetap berdiri tegak di tengah semua tekanan itu, itu bukan sekadar kebijakan, itu adalah manifesto moral.

Mengapa manifestonya penting?

Cukup tengok Sumatera. Banjir bandang dan longsor di sana bukan sekadar berita bencana, melainkan surat ancaman dari alam yang kita abaikan berulang kali. Hutan ludes, tanah dikeruk, sungai dicekik, dan ketika air datang membawa lumpur dan maut, dengan enteng kita sebut itu “bencana alam.” Seolah manusia adalah korban tak berdosa, bukan penandatangan utama kontrak kehancuran.

Kisah penertiban di Jawa Barat harus kita baca dalam bingkai Sumatera: pencegahan itu bisik-bisik, sementara kehancuran selalu teriak-teriak. Kita ini bangsa yang selalu terlambat belajar karena menunggu mayat bergelimpangan dulu baru mau bergerak.

Sumpah Serapah di Cermin

Upaya KDM ini seharusnya dibaca sebagai pesan nasional: pembangunan yang tak bersahabat dengan alam sedang menyiapkan kuburnya sendiri.

Tapi jangan cepat-cepat menyalahkan pemerintah saja. Kerusakan lingkungan itu adalah proyek kolaborasi sunyi antara kebijakan yang serakah dan mentalitas rakyat yang pemalas.

Kita menuntut pemimpin bersih, tapi buang sampah sembarangan. Kita mengutuk banjir, tapi ramai-ramai menyempitkan sungai. Kita marah saat longsor datang, tapi diam seribu bahasa saat hutan diratakan. Kita ini terlalu cepat menjadi penuntut, tapi lambat menjadi pelaku.

Di sinilah tugas Generasi Z dan Nahdliyin harus muncul. Lingkungan bukan hanya urusan politik; itu urusan iman. Kita harus mengubah kepedulian dari sekadar status media sosial menjadi gerakan yang keras kepala.

Memutus Siklus Derita

Jika kita serius ingin mengakhiri siklus derita dari Bangun-Rusak-Bencana-Sesal, kita harus berani menempuh jalan yang lebih radikal, bukan lagi sekadar rekomendasi sopan:

Kita harus memastikan hukum lingkungan tidak lagi impoten di hadapan modal besar. Itu yang pertama. Kemudian, mitigasi bencana tidak boleh menjadi anggaran sisa yang dicomot-comot, melainkan investasi utama yang tak bisa diganggu gugat. Kita juga harus menuntut agar kesadaran kolektif rakyat harus berlari lebih cepat dari ambisi kontraktor. Reboisasi harus menjadi gerakan massal yang wajib, bukan sekadar acara foto tahunan. Dan yang terakhir, kolaborasi pemerintah-rakyat-organisasi harus dibangun tanpa ada rasa curiga murahan yang selalu menghambat.

Warisan yang Tak Ternilai

Kang Dedi Mulyadi hari ini mungkin hanya satu nama di antara ribuan politisi. Tapi keberaniannya mengutamakan hutan mengingatkan kita pada kebenaran yang tak bisa dibantah: pemimpin bisa diganti, tetapi alam yang hancur tak bisa kita beli atau cetak ulang.

Jawa Barat sedang memberikan pelajaran tentang bagaimana sebuah daerah memilih berpihak—bukan pada kerakusan, melainkan pada keberlanjutan. Semoga pelajaran ini tidak berhenti di catatan lokal, tetapi menjadi cetak biru nasional.

Sebab, warisan kita yang sebenarnya kepada anak cucu bukanlah gedung dan jalan raya, melainkan udara yang mereka hirup dan tanah yang mereka pijak. (*)

 

Berita Terkait

Republik di Atas Meja Negosiasi: Siapa Menjual, Siapa Membeli Keadilan?
Robusta, Kafein, dan Revolusi Senyap di Lampung
Wasiat Soemitro dan Silat Gelap Zaman  
Menggugat Taji Progresif Kejati Lampung
Rahmah El Yunusiyyah Sang Perobek Tradisi Al-Azhar dari Padang Panjang
Cahaya dari Kamboja
PKC PMII Lampung “Serampangan”, PB Wajib Karateker
Dua Pemimpin Sama-Sama Tak Layak, PMII Bandar Lampung Harus Segera Dikarateker

Berita Terkait

Rabu, 10 Desember 2025 - 20:41 WIB

Republik di Atas Meja Negosiasi: Siapa Menjual, Siapa Membeli Keadilan?

Kamis, 4 Desember 2025 - 22:14 WIB

Mengapa Kita Perlu ‘Gaya’ Kang Dedy?

Selasa, 25 November 2025 - 19:39 WIB

Robusta, Kafein, dan Revolusi Senyap di Lampung

Senin, 17 November 2025 - 09:04 WIB

Wasiat Soemitro dan Silat Gelap Zaman  

Kamis, 13 November 2025 - 19:20 WIB

Menggugat Taji Progresif Kejati Lampung

Berita Terbaru

Lampung

Jembatan Way Kali Nurik Ambruk, BMBK Lampung Gercep Tangani

Kamis, 11 Des 2025 - 18:50 WIB

Lampung

BMBK Lampung Catat 52 Ruas Jalan Rampung Diperbaiki

Kamis, 11 Des 2025 - 18:48 WIB