Oleh Muhammad Kamal (Presiden Mahasiswa Universitas Malahayati)
Universitas Malahayati, yang selama ini dikenal sebagai salah satu pilar pendidikan tinggi di Lampung, kembali diguncang konflik internal. Kali ini, penyulutnya bukan hanya elite yayasan yang berseteru, melainkan sepucuk surat dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) yang disebut sebagai “surat perdamaian”—tapi justru menambah bara dalam api.
Surat itu datang mendadak, menjelang masa libur bersama, tanpa konfirmasi kepada rektorat aktif yang masih menjalankan roda kampus. Alih-alih menenangkan, isi surat justru mempertegas keberpihakan dan dinilai ikut menyeret Dikti ke dalam pusaran konflik internal Yayasan Altek—badan hukum yang menaungi kampus.
Mahasiswa pun jadi penonton tak berdaya di tengah drama kekuasaan. Proses belajar mengajar terganggu, kepercayaan publik merosot, dan yang paling mengkhawatirkan: masa depan akademik ribuan mahasiswa menggantung tanpa kejelasan. Di sisi lain, para alumni—yang menyandang nama besar Malahayati di ijazah mereka—ikut terdampak dari kisruh yang merusak citra institusi.
“Bagaimana kami bisa melamar kerja, sedangkan nama kampus kami terus dikaitkan dengan konflik tak berkesudahan?” keluh seorang alumnus.
Massa yang kecewa mulai bergerak. Rencana aksi untuk mendesak pencopotan Direktur Kelembagaan Ditjen Dikti mengemuka. Surat yang ditandatanganinya dianggap melampaui kewenangan, mencederai netralitas negara, dan memperparah instabilitas di dalam kampus.
Konflik ini sendiri bermula dari perubahan struktur pengurus Yayasan Altek secara kontroversial. Nama Rosnati Syeh yang sebelumnya sah sebagai pengurus dihapus sepihak. Kini, posisi strategis yayasan diisi oleh istri kedua Eli Rumengan dan anak dari Rusli Bintang, tanpa melalui proses hukum yang transparan.
Yang dibutuhkan bukan lagi surat, melainkan itikad baik. Pertemuan langsung antara dua tokoh utama—Pak Rusli dan Ibu Rosnati—adalah satu-satunya jalan bermartabat yang tersisa. Ini bukan soal siapa menang, tapi bagaimana menyelamatkan masa depan pendidikan.
Universitas Malahayati tak boleh terus menjadi ajang adu kuasa. Di balik dinding kampus itu, ada ribuan mimpi mahasiswa dan nama baik alumni yang patut dijaga. Pendidikan adalah jalan panjang, dan konflik semacam ini bisa menjadi batu besar yang menggagalkan perjalanan banyak orang.(*)