Pramoedya.id: Insiden pembubaran diskusi di Universitas Lampung (Unila) oleh aparat militer adalah alarm bagi kebebasan akademik di Indonesia. Kampus, yang seharusnya menjadi ruang subur bagi gagasan, kini menghadapi represi yang mengingatkan kita pada masa lalu ketika kebebasan berpikir dan berpendapat dikekang atas nama stabilitas.
Kehadiran aparat militer berseragam cokelat di dalam kampus bukan sekadar pelanggaran etika akademik, tetapi sinyal ancaman terhadap kebebasan berekspresi mahasiswa. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dengan jelas menegaskan bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi akademik yang harus dihormati oleh semua pihak, termasuk institusi negara.
Namun, yang terjadi di Unila justru menunjukkan upaya pembungkaman intelektual yang bertentangan dengan semangat demokrasi dan reformasi.
Kita seakan kembali dihadapkan pada bahaya laten dwifungsi ABRI, ketika militer tidak hanya bertanggung jawab dalam pertahanan negara tetapi juga merambah ranah sipil, termasuk pendidikan.
Reformasi 1998 telah menghapus peran militer dalam kehidupan sipil, tetapi insiden di Unila menegaskan bahwa kewaspadaan tetap diperlukan agar kebebasan akademik tak tergerus.
Kampus adalah tempat berseminya pemikiran kritis dan wadah bagi mahasiswa untuk mencari kebenaran. Jika ruang ini terus direpresi, generasi muda hanya akan tumbuh dalam ketakutan, bukan dalam kebebasan berpikir.
Pertanyaannya, apa yang sebenarnya ditakutkan dari sebuah diskusi mahasiswa? Sejak kapan debat akademik menjadi ancaman bagi stabilitas negara? Jika diskusi saja dianggap berbahaya, ke mana lagi mahasiswa harus menyampaikan gagasan mereka?
Dalam konteks ini, komunitas akademik, mahasiswa, dan civitas kampus harus bersatu menjaga independensi pendidikan tinggi. Menolak militerisasi kampus bukanlah sikap anti-ketertiban, melainkan upaya mempertahankan demokrasi yang sehat. Jika kita diam, kita membiarkan kampus berubah dari rumah ilmu menjadi ruang represi.
Kebebasan akademik adalah fondasi bagi sebuah bangsa yang ingin maju. Kampus tidak boleh menjadi ladang kontrol kekuasaan, melainkan tetap menjadi benteng terakhir kebebasan berpikir. Sebab, tanpa kebebasan akademik, kita hanya akan melahirkan generasi yang tunduk, bukan generasi yang berpikir.
Penulis: Ketua Dema Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Muhammad Syahrul R