Pramoedya.id: Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa pendidikan dasar harus tanpa pungutan biaya untuk sekolah negeri dan swasta, disambut beragam oleh para pelaksana di lapangan. Di Kota Bandar Lampung, Dinas Pendidikan lebih memilih pasif atas putusan itu.
“Secara lisan, kami sudah menyampaikan ke sekolah-sekolah negeri agar jangan dulu bicara soal iuran komite di tahun ini. Kita tunggu dulu keputusan pimpinan dan regulasi dari pusat,” ujar Kabid Pendidikan Dasar, Mulyadi, saat ditemui di ruang kerjanya pada Kamis (12/2025).
Putusan MK Nomor 3/PUU‑XXIII/2024 yang dibacakan 27 Mei lalu menegaskan bahwa pendidikan dasar (SD dan SMP) wajib diselenggarakan tanpa pungutan biaya, baik oleh sekolah negeri maupun swasta. Negara dinilai wajib menjamin hal ini karena amanat UUD 1945 tidak boleh dimaknai sempit.
“Kita belum bisa putuskan. Dana BOS saja tidak cukup. Untuk peningkatan mutu, jelas sangat kurang,” kata Mulyadi.
Salah satu solusi yang mulai dipertimbangkan oleh Mulyadi adalah menetapkan pagu tertinggi untuk iuran komite, misalnya Rp1 juta per tahun. Namun rencana ini masih “sebatas pikiran pribadi” dan belum masuk pembahasan resmi bersama kepala- kepala sekolah atau tenaga ahli.
Kontras, Pemprov Lampung disebut berani menerapkan kebijakan gratis karena memiliki dana BOS Daerah (BOSDA). Sedangkan Pemkot Bandar Lampung tidak punya itu. “Gubernur baru mungkin punya anggaran. Kita tidak,” pungkasnya.
Mulyadi menyebut bahwa di akhir Juni 2025 pihaknya akan mengumumkan kebijakan apa yang akan dijalankan oleh Disdik Kota Bandar Lampung atas putusan MK tersebut. Namun pihaknya meminta waktu untuk membahas segala hal teknis bersama MKKS dan pakar di bidang tersebut.
Dalam praktiknya, iuran komite di Bandar Lampung diketahui tidak dibebankan ke seluruh siswa. Sekitar 70% siswa sudah termasuk program Billing (bebas iuran) yang dibiayai pemerintah. Hanya sekitar 30% yang selama ini masih dikenai pungutan oleh sekolah negeri.
Namun, dengan putusan MK yang kini mewajibkan pendidikan dasar gratis juga untuk sekolah swasta, termasuk yang diselenggarakan ormas seperti Muhammadiyah atau NU, kebingungan makin meluas. Belum ada regulasi teknis untuk mendefinisikan mana sekolah swasta yang wajib gratis, dan mana yang masih boleh memungut karena status “non bantuan”.
Ketua Komisi X DPR RI sebelumnya menegaskan bahwa putusan MK ini “final dan mengikat”, tapi implementasinya tetap bergantung pada ketersediaan anggaran dan aturan pelaksana baru dari pemerintah pusat dan daerah.(*)