Oponi ini ditulis oleh: Saddam Lampung
Pramoedya.id: Ada yang menggelisahkan dari arah birokrasi Kabupaten Lampung Tengah. Dalam waktu singkat, wajah pemerintahan daerah ini berubah drastis, bukan karena reformasi, melainkan karena arus masuk pejabat-pejabat “impor” dari luar daerah, terutama dari Kota Metro.
Tiga nama kini menghiasi lingkaran inti kekuasaan, Welly Adiwantra sebagai Sekretaris Daerah, Deny Sanjaya sebagai Kepala BPKAD, dan Tri Hendriyanto sebagai Kepala Inspektorat. Mereka bukan orang baru di dunia pemerintahan. Namun, yang menjadi persoalan bukan kompetensi mereka, melainkan pesan politik di balik kehadirannya berupa bahwa kedekatan personal dengan kepala daerah tampak lebih menentukan “nasib ASN” dibanding rekam jejak dan pengabdian birokrat lokal.
Fenomena ini sejatinya bukan sekadar urusan mutasi jabatan. Ia mencerminkan pergeseran nilai dalam tubuh pemerintahan daerah , dari semangat meritokrasi menuju politik selera dan kenyamanan pribadi. Padahal, dalam sistem birokrasi yang sehat, promosi jabatan seyogianya diberikan kepada mereka yang berprestasi, bukan kepada mereka yang paling dipercaya.
Penyegaran birokrasi memang penting. Tapi bila penyegaran dimaknai sebagai pergantian wajah dengan alasan politis, maka yang diperkuat bukan kinerja, melainkan loyalitas. Pemerintah daerah seharusnya menjadi rumah bagi profesionalisme, bukan arena untuk menguji siapa paling dekat dengan kekuasaan.
Lebih ironis lagi, ketiga pejabat yang menduduki posisi strategis itu berasal dari satu daerah: Kota Metro. Sulit untuk menyebutnya kebetulan. Bila rotasi lintas wilayah menjadi dalih, maka publik berhak bertanya: mengapa hanya satu kota yang “berhak” mengekspor pejabat ke Lampung Tengah?
Dalam kondisi ideal, seorang bupati mestinya menjadi teladan dalam menegakkan sistem merit. Ia seharusnya melindungi hak-hak ASN lokal yang telah mengabdi puluhan tahun, bukan justru memberi sinyal bahwa dedikasi tidak lagi dihargai. Pemerintahan daerah semestinya dibangun dari kepercayaan terhadap kapasitas sendiri, bukan dari keyakinan bahwa orang luar selalu lebih mampu.
Pernyataan Bupati Ardito Wijaya tentang pentingnya disiplin dan “jiwa petarung” terdengar baik di atas podium. Tetapi publik membaca makna lain bahwa petarung macam apa yang harus didatangkan dari luar gelanggang? Bila semangat juang hanya dimonopoli oleh lingkaran tertentu, maka birokrasi kehilangan makna sebagai mesin pelayanan publik.
Sudah saatnya Lampung Tengah belajar dari banyak daerah lain yang berhasil memperkuat sistemnya lewat promosi terbuka dan berbasis kompetensi. Pemerintah daerah mestinya paham, birokrasi yang tangguh tidak tumbuh dari politik pertemanan, tetapi dari keadilan dalam kesempatan.
Selama posisi strategis diisi oleh orang-orang pilihan pribadi, jangan harap profesionalisme akan tumbuh. Sebab loyalitas yang dibangun dari kedekatan bukan hanya rapuh, tetapi juga berbahaya: ia melahirkan birokrasi yang hanya berani ke atas dan menindas ke bawah.
Lampung Tengah seharusnya punya martabat. Ia tak boleh dikelola seperti wilayah pinjaman yang dikendalikan dari luar.
Dan bila kursi-kursi penting terus dikuasai oleh wajah-wajah yang tak tumbuh dari tanahnya sendiri, maka pertanyaan publik itu sah dan perlu diulang: Siapa sesungguhnya yang sedang memimpin Lampung Tengah.Rakyatnya, atau jaringan kekuasaan dari luar daerah? (*)







