BPJS, Rohana, Rojali: Opera Sunyi di Negeri yang Ramai Tapi Sepi

- Editor

Jumat, 15 Agustus 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Penta Peturun

Penta Peturun

Ditulis oleh: Penta Peturun, Staf Khusus Menteri Ketenagakerajaan RI

Pramoedya.id: Di pusat perbelanjaan besar, lantai marmer memantulkan cahaya neon yang dingin. Alunan musik pop mengalun. Aroma kopi mahal berbaur dengan wangi parfum dari merek-merek ternama. Sekelompok anak muda bergelak tawa, memotret minuman latte di meja mereka, lalu mengunggahnya ke media sosial. Tak jauh, sekelompok ibu-ibu mencoba sepatu, menanyakan harga, lalu mengembalikannya ke rak dengan senyum samar. Mereka keluar dari mal tanpa membawa apa-apa, kecuali memori dan potret di ponsel.

Fenomena ini dikenal sebagai BPJS: “Bujet Pas-pasan Jiwa Sosialita”. Dari sana, lahir pula istilah Rohana (rombongan hanya nanya-nanya) dan Rojali (rombongan jarang beli). Jauh dari sekadar candaan, BPJS adalah patologi sosial yang dibalut kilauan. Bagi angka-angka BPS dan OJK, ini adalah jeritan senyap dari jutaan orang yang hidup di antara harapan yang dijanjikan dan realitas yang mencekik.

Jurang Angka, Lubang Aspirasi

Data adalah narasi terkelam dari fenomena ini. Pada Februari 2025, BPS mencatat 7,28 juta orang menganggur. Pada Maret 2025, 23,85 juta jiwa, atau 8,47% penduduk, hidup di bawah garis kemiskinan, dengan angka tertinggi di Papua Pegunungan yang mencapai 30,03%. Upah buruh rata-rata nasional hanya sekitar Rp3,09 juta per bulan. Ini adalah realitas ekonomi yang keras, yang menjauhkan mereka dari arena konsumsi sesungguhnya.

Jurang ini diperparah dengan rendahnya literasi keuangan. Survei OJK-BPS 2025 menunjukkan literasi finansial lulusan SD atau mereka yang tidak sekolah hanya di kisaran 43-55%. Ini bukan sekadar angka, melainkan pintu gerbang kerentanan. Rendahnya pemahaman membuat mereka mudah terjerat utang konsumtif, termasuk melalui layanan paylater atau fintech lending, yang tumbuh pesat hingga 17% per tahun. Tanpa bekal pengetahuan, mereka menjadi pasar empuk bagi industri utang, sebuah lubang gelap yang menjanjikan pemenuhan hasrat instan, namun berujung pada jeratan finansial yang dalam.

Patologi dalam Balutan Neon

Sosiolog Emile Durkheim menyebut situasi ini sebagai anomie, keadaan di mana norma sosial melemah dan individu merasa terasing dari tujuan yang diidealkan masyarakat. Robert K. Merton, melalui teori strain-nya, melihat fenomena ini sebagai ketegangan antara tujuan budaya (misalnya, menjadi bagian dari kelas menengah) dan sarana legal yang terbatas untuk mencapainya.

BPJS adalah strain yang dibalut cahaya neon mal. Masyarakat terus-menerus diserbu citra gaya hidup ideal melalui media sosial, kopi latte, sepatu bermerek, liburan singkat. Namun, realitas upah minim membuat mereka hanya bisa berdiri di pinggir arena konsumsi. Rohana dan Rojali adalah respons adaptif terhadap strain ini. Mereka menciptakan “konsumsi simbolik,” sebuah ritual sosial untuk menegaskan identitas tanpa perlu transaksi ekonomi. Ini adalah strategi bertahan yang secara perlahan mengikis kesehatan mental dan memicu social envy, mengalihkan fokus dari kebutuhan dasar ke pencitraan semu.

Marjinalitas yang Dirias

Dalam tradisi Marxis, mereka adalah lumpenproletariat, kelompok termarjinalkan yang terpinggir dari pasar kerja formal dan akses modal. Kini, marjinalitas itu dirias sedemikian rupa: secara ekonomi, mereka bekerja di sektor informal dengan upah di bawah rata-rata; secara sosial, mereka hadir di ruang-ruang mewah sebagai latar; secara budaya, mereka mengadopsi simbol kelas atas tanpa kemampuan membeli.

Media sosial adalah panggung sandiwara ini. Seorang Rojali di kafe mahal adalah pertunjukan, sebuah performance untuk membangun citra pribadi yang jauh dari realitas. Upaya ini ditegaskan oleh suara-suara dari lapangan: “Kami cuma story saja, biar teman tahu kita main ke sini,” kata seorang ibu arisan. Sebuah pengakuan jujur tentang bagaimana kehadiran menjadi lebih penting daripada kepemilikan.

Kebijakan Gagal, Aspirasi yang Terkunci

Ini adalah lingkaran setan yang mengunci: pengangguran, pendidikan rendah, literasi keuangan lemah, tekanan gaya hidup, dan perilaku BPJS yang terus berulang. Tanpa intervensi yang tajam dan holistik, siklus ini akan diwariskan.

Berbagai kebijakan telah ada, namun implementasinya seringkali tidak menyentuh akar masalah. Program seperti “Indonesia Produktif” dari Kemnaker, yang berlandaskan pada Inpres lama, harus dimaksimalkan tidak hanya sebagai pelatihan, tetapi sebagai jembatan langsung menuju pekerjaan layak. Pelaksanaan Inpres No. 8 Tahun 2025 tentang kemiskinan ekstrem harus melibatkan warga miskin secara aktif dalam program TKM dan Padat Karya, bukan sekadar menjadi penerima bantuan pasif.

Namun, yang terpenting, literasi finansial harus diintegrasikan secara masif sejak dini. Modul yang disiapkan Kemnaker dan OJK perlu menjadi kurikulum wajib, tidak hanya di sekolah vokasi, tapi juga di sekolah menengah. Wacana pajak paylater juga patut dipertimbangkan sebagai salah satu instrumen untuk mengendalikan utang konsumtif di kalangan rentan.

Masalah ini tak bisa diselesaikan hanya dengan slogan. Ia membutuhkan kebijakan yang tidak hanya membangun panggung gemerlap, tetapi juga mengisi kantong para penontonnya.

Karena kita semua tahu bahwa BPJS, Rohana, dan Rojali adalah lakon dari sebuah opera sunyi. Keramaian yang tidak dibarengi daya beli, sorak-sorai yang tak berujung transaksi. Opera ini hanya akan berakhir jika setiap langkah menuju mal memiliki peluang nyata untuk pulang dengan sesuatu yang lebih dari sekadar foto di media sosial. (*)

 

Berita Terkait

PKC PMII Lampung “Serampangan”, PB Wajib Karateker
Dua Pemimpin Sama-Sama Tak Layak, PMII Bandar Lampung Harus Segera Dikarateker
Di Lamteng Putra Daerah Menepi, Pejabat Metro Mengemudi
Patah Tumbuh, Hilang Berganti: Kisah Perjuangan Meraih Beasiswa
Triga Lampung Desak Reformasi Total Manajemen Bank Lampung
Beranikah Pemerintah Me-Revolusi Dunia Kontruksi?
Pengayom Atau musuh Rakyat: Catatan Merah Kepolisian, Ketika Polisi Menjadi Musuh Publik
Pramono Anung Diam, Masyarakat Jadi Korban

Berita Terkait

Senin, 13 Oktober 2025 - 18:41 WIB

PKC PMII Lampung “Serampangan”, PB Wajib Karateker

Sabtu, 11 Oktober 2025 - 14:49 WIB

Dua Pemimpin Sama-Sama Tak Layak, PMII Bandar Lampung Harus Segera Dikarateker

Rabu, 8 Oktober 2025 - 17:23 WIB

Di Lamteng Putra Daerah Menepi, Pejabat Metro Mengemudi

Rabu, 24 September 2025 - 15:19 WIB

Patah Tumbuh, Hilang Berganti: Kisah Perjuangan Meraih Beasiswa

Kamis, 18 September 2025 - 14:38 WIB

Triga Lampung Desak Reformasi Total Manajemen Bank Lampung

Berita Terbaru

Dua naskah kuno bersejarah asal Provinsi Lampung berhasil menorehkan prestasi di tingkat nasional.

Lampung

Dua Naskah Kuno Lampung Raih Sertifikat dari Perpusnas

Kamis, 16 Okt 2025 - 07:54 WIB

Lampung

Triga Lampung Desak KPK Periksa Bupati Lamtim

Rabu, 15 Okt 2025 - 21:41 WIB