Pramoedya.id: Nama PT Sugar Group Companies (SGC) kembali jadi sorotan tajam. Setelah sempat viral terkait dugaan suap Rp50 miliar kepada mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar, kini perusahaan raksasa gula itu diduga kuat mencaplok ratusan hektare lahan warga di Lampung Tengah (Lamteng).
Indikasi awal menyebut, penguasaan lahan di SP I dan II Way Terusan, Kecamatan Bandar Mataram, Lamteng, ini melibatkan sejumlah oknum pejabat tinggi kabupaten setempat.
Mereka diduga memperkaya diri serta menguntungkan perusahaan dengan mengorbankan ratusan masyarakat lokal.
Kasus ini pecah saat anggota DPRD Lampung dari Dapil Lampung Tengah, Munir Abdul Haris, menyampaikan interupsi dalam rapat paripurna DPRD Lampung, Jumat (11/7/2025).
Munir membawa aspirasi warga yang mendesak wilayah mereka ditetapkan sebagai desa definitif.
“Saya mendapat amanah dari masyarakat SP I dan II Way Terusan. Setelah 79 tahun Indonesia merdeka, mereka belum mendapatkan haknya sebagai warga negara,” ujar Munir di hadapan Gubernur Lampung dan pimpinan DPRD.
Ia menjelaskan, wilayah SP I dan II adalah kawasan transmigrasi lokal yang dibuka sejak 1996 untuk mendukung operasional PT Indo Lampung, anak usaha dari PT SGC.
Para transmigran berasal dari Pringsewu dan Lampung Tengah bagian barat.
Mirisnya, hingga kini, dua permukiman itu masih di bawah administrasi Kampung Mataram Udik. Akses listrik pun baru masuk pada 2023, setelah hampir 25 tahun hidup dalam kegelapan.
“Itu pun setelah perjuangan panjang para pemuda, salah satunya Wilanda Riski, yang harus berhadapan dengan berbagai bentuk intimidasi,” kata Munir melalui pernyataan persnya, Sabtu (12/7/2025).
Munir menegaskan, syarat administratif pembentukan desa definitif telah terpenuhi. Mulai dari jumlah penduduk, luas wilayah, jumlah kepala keluarga, hingga fasilitas publik seperti sekolah, puskesmas, rumah ibadah, dan kantor kepala kampung.
Ia pun mendesak Gubernur Lampung dan pimpinan DPRD segera mengoordinasikan aspirasi warga SP I dan II kepada Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa Tertinggal, dan pemangku kepentingan lainnya.
“Namun yang tak kalah penting, kami minta PT SGC merelakan wilayah SP I dan II untuk berdaulat sebagai desa definitif. Tidak mungkin desa dibentuk jika korporasi belum ikhlas melepas,” tegas Munir, menyorot peran krusial SGC. (Rilis/*)