Pramoedya.id: Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Akar Lampung mendesak Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk bertindak tegas dalam mengusut tuntas dugaan suap yang melibatkan petinggi PT Sugar Group Companies (SGC).
Desakan ini muncul menyusul mencuatnya nama-nama elite hukum dan perusahaan dalam pusaran kasus suap senilai Rp 50 miliar yang menyeret mantan Hakim Mahkamah Agung (MA).
Ketua DPP Akar Lampung, Indra Musta’in, menyebut Kejagung tidak boleh mandul dalam menghadapi kekuatan besar di balik PT SGC. Menurutnya, banyak laporan hukum terkait korporasi raksasa gula tersebut yang telah masuk ke berbagai institusi, namun tidak menunjukkan perkembangan berarti.
“Semua mandeg. Tidak ada kejelasan. Ini membuat masyarakat Lampung pesimis. Mampukah, beranikah lembaga hukum memeriksa SGC yang dahulu kerap disebut dekat dengan elit kekuasaan?,” kata Indra kepada Pramoedya.id, Kamis (22/5/2025).
Indra menyoroti lemahnya penegakan hukum terhadap perusahaan yang dinilai punya pengaruh besar.
Menurutnya, publik mulai mempertanyakan apakah hukum benar-benar tajam ke bawah namun tumpul ke atas, terutama saat berhadapan dengan aktor-aktor korporat besar.
“Banyak laporan masyarakat dari daerah hingga pusat terkait PT SGC, tapi tak satu pun ditindaklanjuti secara transparan,” ujarnya.
Ia juga mendesak Kejagung segera memanggil sejumlah nama hakim agung yang disebut-sebut dalam pusaran pengondisian perkara perdata antara SGC dan perusahaan asing.
Nama-nama yang disebut antara lain Wakil Ketua MA Sunarto, Hakim Agung Suharto, mantan Hakim Agung Soltoni Mohdally, dan Hakim Agung Syamsul Ma’arif.
“Pemanggilan mereka penting agar terang siapa sebenarnya makelar kasus dalam perkara ini,” tegas Indra.
Lebih jauh, Akar Lampung juga menyoroti kontribusi PT SGC terhadap masyarakat Lampung. Indra menilai, manfaat perusahaan terhadap provinsi tidak sebanding dengan sumber daya yang mereka kelola.
“SGC dan Marubeni ribut soal lahan kebun tebu, tapi manfaatnya ke rakyat Lampung minim sekali. Bahkan, kami menduga pajak perusahaan tidak sepenuhnya dibayarkan kepada negara,” ungkapnya.
Meski demikian, Akar mengapresiasi keberanian Kejagung yang telah membuka perkara besar ini. Indra menilai, terungkapnya kasus suap yang melibatkan Zarof Ricar, mantan aparatur MA, menjadi titik terang terhadap praktik hukum yang kotor di balik layar.
“Kami hormati keberanian Kejagung RI membuka skandal besar ini. Sosok seperti Zarof Ricar adalah wajah rusaknya hukum kita, dan keterlibatannya di kasus SGC membuktikan betapa parahnya praktik mafia peradilan,” tutupnya.
Diketahui, sengketa antara PT SGC dan Marubeni Corporation bermula dari proses akuisisi pada 2001 yang digelar oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Namun, usai akuisisi, pihak SGC disebut menolak membayar utang sebesar Rp 7 triliun kepada Marubeni, yang kemudian berujung pada sengketa hukum berkepanjangan. Dugaan pengondisian perkara mengemuka setelah muncul pengakuan bahwa suap hingga Rp 50 miliar digelontorkan untuk memenangkan perkara tersebut di MA. (*)