Ditulis oleh: Naha, Konten Kreator AI
Pramoedya.id: Dunia sedang bergerak menuju era baru. Jika prediksi para ahli benar, tahun 2030 akan menjadi titik balik bagi peradaban manusia—bukan karena perang atau pandemi, tapi karena satu teknologi yang kini tengah meledak di berbagai lini kehidupan: Artificial Intelligence (AI).
AI Bukan Lagi Masa Depan, Tapi Realita yang Semakin Dekat
Menurut riset dari berbagai lembaga internasional, AI diperkirakan akan berkontribusi sebesar $19,9 triliun terhadap ekonomi global di tahun 2030. Ini bukan sekadar angka bombastis, melainkan tanda bahwa mesin-mesin pintar akan mengubah wajah industri, pendidikan, kesehatan, hingga pemerintahan.
Namun perubahan ini bukan tanpa gesekan. Organisasi Buruh Internasional (ILO) mencatat, ada potensi 83 juta pekerjaan akan tergantikan oleh AI, walaupun akan muncul juga sekitar 69 juta pekerjaan baru yang membutuhkan keahlian digital. Dengan kata lain, kita tidak kehilangan pekerjaan—kita hanya kehilangan pekerjaan yang belum beradaptasi.
Indonesia Siapkah Menyambut Gelombang AI?
Di tanah air, potensi ekonomi AI tak kalah mencengangkan: Rp 6.000 triliun pada tahun 2030. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyebut sektor yang paling terdampak adalah kesehatan, pendidikan, dan industri kreatif.
Bayangkan diagnosis medis dilakukan oleh AI dalam hitungan detik, sistem belajar-mengajar yang dipersonalisasi sesuai kemampuan murid, atau bahkan karya seni yang dihasilkan oleh algoritma. Ini bukan sekadar fiksi ilmiah, ini sedang terjadi.
Artificial General Intelligence (AGI)
Isu paling hangat saat ini adalah Artificial General Intelligence (AGI)—yakni kecerdasan buatan yang setara atau bahkan lebih pintar dari manusia. CEO Google DeepMind, Demis Hassabis, serta Sergey Brin memprediksi AGI akan terwujud sebelum tahun 2030. Jika benar, maka dalam 5 tahun ke depan, kita bisa melihat AI yang tidak hanya mengerjakan tugas-tugas, tapi juga memahami konteks, emosi, dan bahkan memiliki “niat”.
Namun, mantan CEO Google, Eric Schmidt, mengingatkan bahwa jika tidak diatur dengan benar, AGI bisa menjadi ancaman eksistensial. “Kita bisa kehilangan kendali atas AI dalam waktu dekat,” ujarnya dalam sebuah wawancara.
AI dan Kehidupan Sehari-hari
Laporan dari Ericsson ConsumerLab menunjukkan bahwa 80% responden percaya AI akan membantu dalam keputusan penting seperti beli rumah, memilih sekolah anak, hingga mengatur keuangan keluarga. Bahkan tren seperti fashion generatif dan kloning digital diprediksi jadi bagian dari gaya hidup.
Tapi benarkah kita ingin hidup yang terlalu dibantu AI?
Tantangan Etika: Siapa yang Pegang Kendali?
Di tengah euforia teknologi, pertanyaan terbesar yang masih menggantung adalah: Siapa yang akan mengatur AI?
Tanpa regulasi global yang jelas, kita bisa menghadapi dunia di mana keputusan vital ditentukan oleh mesin, bukan manusia. Oleh karena itu, kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan pelaku industri menjadi kunci agar AI berkembang secara bertanggung jawab dan etis.
Masa Depan Sudah Dimulai
AI di tahun 2030 bukan hanya soal teknologi canggih, tapi tentang bagaimana manusia mendefinisikan ulang hubungan dengan mesin. Kita tidak sedang berbicara tentang pengganti manusia, tapi tentang mitra baru dalam membangun dunia.
Jadi pertanyaannya bukan lagi “Apakah AI akan datang?”, melainkan “Sudah siapkah kita menyambutnya?” (*)