Soal Nikel Indonesia Perlu Contoh Finlandia dan Kanada

- Editor

Senin, 23 Juni 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Foto: Ilustrasi

Foto: Ilustrasi

Oleh: Peksyaji Karto Prawiro (Wakil Ketua I Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Cabang Depok)

Indonesia saat ini berdiri di garis depan dalam kompetisi global memperebutkan dominasi industri nikel. Komoditas ini menjadi kunci dalam transisi menuju energi hijau, khususnya untuk baterai kendaraan listrik dan sistem penyimpanan energi. Namun, pertanyaan utamanya kini bukan lagi berapa banyak nikel yang bisa kita hasilkan, melainkan bagaimana kita memproduksinya tanpa menghancurkan bumi tempat kita berpijak.

Pramoedya.id: Dari titik inilah, saya berpandangan bahwa sudah saatnya Indonesia berhenti melihat dirinya sekadar sebagai pemasok bahan mentah, dan mulai belajar dari negara-negara yang lebih dahulu menapaki jalur industri nikel berkelanjutan. Finlandia dan Kanada, dua negara dengan jejak emisi lebih rendah dan tata kelola lebih baik, layak dijadikan cermin. Bukan karena mereka produsen terbesar, melainkan karena mereka membuktikan bahwa keberlanjutan bukanlah ilusi dalam dunia pertambangan.

Finlandia: Merangkai Teknologi dan Tata Kelola

Finlandia menjadi contoh kuat bagaimana kemajuan teknologi dapat berjalan seiring dengan tata kelola yang akuntabel. Di sektor metalurgi, negara ini telah mencatat capaian penting dalam efisiensi energi dan penurunan emisi. Teknologi peleburan hemat energi yang digunakan telah memangkas emisi sulfur secara signifikan.

Namun yang paling penting bukan semata inovasi teknis, melainkan pendekatan mereka dalam membangun legitimasi sosial. Finlandia menerapkan mekanisme pelibatan masyarakat lokal dalam perencanaan tambang, sekaligus menekankan pentingnya tanggung jawab sosial perusahaan. Komunikasi terbuka dan partisipasi publik menjadi pilar utama yang memperkecil potensi konflik.

Kanada: Menyatukan Standar dan Solusi Sosial-Ekologis

Kanada, sejak dekade 1980-an, telah memfokuskan perhatian pada pengendalian polusi dari industri nikel. Mereka menaruh perhatian besar pada efisiensi energi dalam pengolahan dan menerapkan standar emisi yang ketat. Negara ini juga menunjukkan bahwa keberlanjutan bukan sekadar urusan teknis, tapi juga kebijakan sosial.

Salah satu kekuatan Kanada adalah bagaimana mereka berusaha menyeimbangkan antara pertumbuhan industri dan perlindungan terhadap komunitas lokal serta lingkungan. Pelibatan masyarakat adat, penerapan standar lingkungan yang ketat, dan pembangunan kapasitas di wilayah terdampak adalah bagian dari strategi nasional mereka dalam membangun industri yang inklusif.

Menuju Industri Rendah Karbon

Finlandia dan Kanada membuktikan bahwa teknologi bersih dapat menjawab tantangan ekologis dari industri nikel. Penggunaan metode peleburan hemat energi, sistem pengolahan rendah karbon, hingga rekonstruksi lahan bekas tambang dengan pendekatan sirkular adalah bagian dari ikhtiar menuju produksi yang lebih hijau.

Selain itu, ada juga pendekatan daur ulang tertutup, dengan mengambil kembali nikel dari katalis bekas. Hal ini mampu menghemat energi sekaligus meminimalkan limbah beracun. Bukan sekadar menggali lebih dalam, tetapi mengolah lebih bijak.

Fitoremediasi: Solusi Hijau dari Alam

Keberlanjutan tak selalu datang dari laboratorium. Di berbagai wilayah, praktik fitoremediasi menggunakan tanaman untuk menyerap logam berat dari tanah dan air telah terbukti efektif sebagai metode pemulihan lingkungan pascatambang. Pendekatan ini meminimalkan penggunaan bahan kimia, memulihkan kesuburan tanah, dan menyelaraskan kembali ekosistem yang rusak.

Bagi saya, ini bukti bahwa keberlanjutan bisa muncul dari kolaborasi antara ilmu pengetahuan dan kearifan ekologis. Kita hanya perlu membuka mata dan bersedia menggabungkan teknologi dengan solusi berbasis alam.

ESG: Dari Formalitas Menuju Fondasi

Salah satu elemen penting dalam praktik produksi nikel yang berkelanjutan adalah penerapan prinsip ESG: lingkungan, sosial, dan tata kelola. Di negara-negara seperti Finlandia, prinsip ini sudah menjadi bagian dari sistem evaluasi industri, bukan sekadar formalitas.

ESG bukan hanya soal menanam pohon atau membuat laporan tanggung jawab sosial yang cantik. Ini adalah alat ukur integritas industri dalam jangka panjang. Sejauh mana sebuah perusahaan benar-benar menghitung dampak ekologis, sosial, dan memperkuat tata kelola yang transparan.

Di beberapa negara maju, pendekatan ini bahkan dikembangkan lebih jauh. Penghitungan beban lingkungan tidak hanya berdasarkan emisi, tapi juga tekanan terhadap sumber daya alam, konsumsi energi, dan distribusi manfaat ekonomi.

Trade-Off yang Bisa Dikelola

Tak ada industri yang sepenuhnya bebas dari risiko lingkungan. Tapi pengalaman Finlandia dan Kanada menunjukkan bahwa risiko-risiko ini bisa dikelola. Bukan dihindari, tetapi dihadapi dengan teknologi, kebijakan inklusif, dan keterbukaan terhadap partisipasi publik.

Mulai dari pemilihan lokasi tambang, desain proses produksi, hingga pendekatan pascatambang, semua menentukan seberapa besar jejak ekologis yang ditinggalkan. Negara-negara ini juga telah menunjukkan bahwa daur ulang memiliki beban lingkungan jauh lebih rendah dibandingkan produksi primer.

Keberlanjutan Bukan Ancaman Ekonomi

Salah satu mitos yang menghambat perubahan adalah anggapan bahwa keberlanjutan menurunkan daya saing. Kenyataannya, permintaan global terhadap nikel justru meningkat tajam seiring dorongan terhadap energi bersih dan produk tahan lama.

Dalam pasar global yang semakin sadar lingkungan, standar keberlanjutan justru menjadi nilai tambah. Negara seperti Kanada berpotensi memperluas kapasitas produksinya karena kemampuannya memenuhi standar tinggi secara konsisten. Jika Indonesia ingin ikut bermain di panggung ini, maka mengadopsi praktik terbaik bukan sekadar pilihan, melainkan keharusan.

Membalik Arah Ekstraksi

Indonesia punya peluang besar. Bukan hanya menjadi eksportir nikel terbesar, tapi juga pelopor industri nikel berkelanjutan di Asia Tenggara. Tapi itu hanya bisa terjadi jika kita bersedia membalik arah, dari paradigma ekstraksi menuju paradigma regenerasi.

Teknologi bersih, fitoremediasi, daur ulang sirkular, ESG yang kuat, dan keterlibatan masyarakat bukan lagi opsi, melainkan keniscayaan. Dunia tidak hanya butuh nikel, dunia butuh nikel yang diproduksi dengan tanggung jawab.

Kini saatnya kita bertanya, apakah kita akan terus menjadi bangsa yang menjual logam mentah dengan kerusakan sebagai ongkos tersembunyi? Ataukah kita ingin dikenang sebagai negara yang mengubah sejarah industri ekstraktif menjadi kisah tentang keberlanjutan?(*)

 

 

Berita Terkait

Etika Diliburkan, Jabatan dilipatgandakan
Anggaran untuk Tenaga Pendamping adalah Investasi, Bukan Pemborosan
Agromining sebagai Solusi, Panen Logam Tanpa Menambang
Sun Tzu di Perbatasan Persia: 100 Hari Menuju Kemenangan
Sumpah Air dan Besi
Ironi Tata Kelola Tambang Nikel: Janji Hijau di Atas Lumpur Kebijakan
Paradoks Nikel Indonesia: Ekonomi Hijau Berjejak Karbon Hitam
Hilirisasi Nikel: Antara Kebanggaan Nasional dan Tantangan Global

Berita Terkait

Sabtu, 19 Juli 2025 - 22:55 WIB

Etika Diliburkan, Jabatan dilipatgandakan

Rabu, 2 Juli 2025 - 17:21 WIB

Anggaran untuk Tenaga Pendamping adalah Investasi, Bukan Pemborosan

Selasa, 24 Juni 2025 - 13:59 WIB

Agromining sebagai Solusi, Panen Logam Tanpa Menambang

Senin, 23 Juni 2025 - 20:10 WIB

Soal Nikel Indonesia Perlu Contoh Finlandia dan Kanada

Sabtu, 21 Juni 2025 - 21:46 WIB

Sun Tzu di Perbatasan Persia: 100 Hari Menuju Kemenangan

Berita Terbaru

Pendidikan

UIN Lampung Jalin Kerja Sama Double Degree dengan Mesir

Rabu, 23 Jul 2025 - 20:08 WIB

Foto: Ilustrasi

Perspektif

Perselingkuhan Pemda Lamteng: Janji Pahit di Tengah Kebun Tebu

Rabu, 23 Jul 2025 - 11:26 WIB

Pendidikan

Gubernur Lampung: UIN Raden Intan Motor Peradaban Daerah

Selasa, 22 Jul 2025 - 21:23 WIB

Lampung

BRI Perkuat Koperasi Desa Merah Putih, Dorong Ekonomi Lokal

Selasa, 22 Jul 2025 - 15:21 WIB